Konsentrasi Rindai saat menyetir sudah kacau sejak dia ingat ucapan Getsa di depan wisma tadi. Rindai menambah laju kecepatan motornya. Dia ingin cepat-cepat sampai di kosannya. Lebih tepatnya dia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Tanpa dikunci stang, Rindai langsung berlari secepat kilat menaiki tangga. Ketika tiba di atas tangga, Rindai hanya berdiri di tempat. Dia tertegun dengan pemandangan di depannya.
Dua orang yang tadinya berantem itu kini sedang duduk di depan kamarnya. Keadaan mereka tampak mengenaskan. Mereka sama-sama babak belur. Rindai memfokuskan pandangannya ke Getsa, gadis itu duduk di tengah-tengah mereka sambil terdiam. Mungkin dia sudah lelah melerai dua orang pria yang berantem dengan postur tubuh yang badannya lebih besar darinya.
Langkah Rindai semakin mendekat. Rindai tidak bicara apapun. Dia hanya memperhatikan mereka. Baru setelah Yudhis menyadari keberadaannya, lelaki itu menoleh. Sambil meringis kesakitan, Yudhis berusaha tersenyum padanya. Rindai melihat ada darah di sudut bibir Yudhis.
Rindai menggelengkan kepalanya kesal, "gak usah senyum kalau masih sakit."
Yudhis malah tersenyum lagi.
Pandangan mata Rindai beralih memperhatikan Ijang. Lelaki itu terus-terusan mengelus pipinya. Sementara Getsa yang ada di sampingnya hanya melirik Rindai sambil menggelengkan kepala.
"Capek ya Sa, habis melerai dua cowok berantem?" tanya Rindai.
Getsa langsung mengangguk, "iya, Kak. Untungnya ada Bang Min yang bantuin aku. Aku sampai gemeteran tahu Kak, nunggu Kak Rindai gak datang-datang."
Rindai berdiri di depan kedua manusia yang habis berantem itu sambil melipat tangan di dadanya, "udah maaf-maafan?"
Ijang terdiam. Tapi Yudhis langsung menjawab "ogah!" dengan nada kesal.
"Pahalanya besar lho kalau kalian punya salah terus setelah itu kalian saling maaf-maafan gitu," bujuk Rindai dengan nada lembut seperti melerai dua anak kecil yang berantem karena berebut mainan. "Kalian kan udah sama-sama gede nih. Gue yang dengar berita kalian berantem ngerasa nggak pantas aja gitu buat didengar di kuping gue. Kalau ada masalah ya diomongin baik-baik tanpa harus adu jotos kayak gini."
"Apa sih Rindai? Gak usah ceramah deh!" balas Ijang nyolot. "Gue mau ke kamar. Pipi gue sakit gara-gara tuh bocah!"
"Eh, lo duluan ya yang mukul. Bukan gue!" sambung Yudhis tidak terima.
Entah mengapa Rindai merasa sedikit lebih beruntung karena datang terlambat. Dia tidak perlu capek-capek melerai kedua manusia yang sedang tersulut emosi itu. Ya walaupun sisa-sisa amarah masih nampak di wajah mereka. Tapi tetap saja melihat mereka masih sama-sama bersifat kekanakan setelah berhasil dileraikan membuat Rindai jadi ikut senewen.
Ijang bangkit berdiri meninggalkan mereka. Dengan susah payah dia berjalan menuju kamarnya yang berada di ujung sambil memegang pipinya yang sakit. Melihat itu Rindai hanya bisa menghela napasnya.
Perhatian Rindai beralih ke Getsa. Gadis itu baru saja mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak P3Knya, "itu di bibir lo ada darah, Dhis. Gue kasih plaster ya."
Yudhis mengulurkan tangannya untuk menerima plaster dari Getsa, "sini biar gue aja. Entar kalau orang lain yang masang malah makin sakit lagi."
Getsa mendorong bahu Yudhis, "kurang ajar!"
Yudhis tertawa sambil memegang bibirnya yang berdarah itu. Lalu dia mulai akan memasangkan plaster ke ujung bibirnya. Tetapi karena Rindai masih berdiri di depannya, Yudhis malah menghentikan kegiatannya. Dia melirik Rindai, "apa? Mau pasangin plaster di bibir gue juga?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Turtle Meets A Dog
Chick-LitKlien adalah manusia paling random bagi seorang marketing officer radio seperti Rindai. Entah itu soal reaksi yang muncul, bagaimana bentuk wajahnya, dan di mana keberadaan seorang klien semuanya seperti alur cerita yang unpredictable. Mencari klien...