Sehabis balik kerja, Rindai biasanya mampir ke rumah makan padang. Dia membeli rendang buat dibawa ke kosan. Agak malas untuk masak sendiri walaupun cuma mie instan. Kadang bosan juga dengan masakan di warung Bang Min. Maklum ini kan tanggal muda, jadi puas-puasin saja dulu. Baru kalau tanggal tua, rendang yang dia makan akan berubah dalam bentuk kemasan mie indomie.
Ketika tiba di Graha Biru, Rindai melihat ke balai-balai. Jarang sekali sore-sore begini di sana sudah ramai. Biasanya akan ramai sekali ketika sehabis isya. Tetapi sekarang sekumpulan para lelaki itu sedang duduk di balai-balai sambil ngobrol topik seru. Terdengar dari suara tawa mereka yang bising.
"Ya pokoknya yang ini lebih bening dari Rindai," ucap seseorang dari sana.
Kedua alis Rindai terangkat. Dia hanya berdiri di belakang mereka sambil terus mendengarkan mereka ngoceh. Lalu Rindai mencoba memotong obrolan mereka,"assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," jawab mereka kompak
Para lelaki itu terkejut. Terlebih saat Rindai melihat Ijang menatap wajahnya. Ijang segera membenarkan posisi duduknya sambil tersenyum, "balik, Dai?"
Rindai tidak menjawab, "tumben sore-sore gini di sini rame. Lagi ngobrolin apa sih?"
Ijang membuka mulut, "itu tadi lo lagi diban-"
Arsen menyela, "itu yang di plastik hitam apaan, Dai?"
Rindai tersenyum sambil mengangkat plastik hitam yang dipegangnya, "oh, ini menu awal bulan gue."
"Mau dong!"
"Yuk makan bareng. Gue lagi lapar banget ini."
"Widih, asyik dong."
"Ini nih poin plus Rindai kalau dibandingin sama Getsa," Celetuk Ijang.
Gerakan Rindai terhenti. Nasi bungkus yang semula akan dia buka mendadak dia tutup kembali. Rindai menatap Ijang dengan tatapan lasernya. Beberapa saat kemudian setelah Ijang sadar akan ucapannya, lelaki itu menutup mulutnya rapat-rapat.
"Kalian dari tadi ghibahin gue ya?" tanya Rindai kesal. "Jelasin ke gue siapa Getsa?"
Ijang diam tidak menjawab.
Kepala Rindai memutar ke kanan dan ke kiri. Meminta jawaban dari para lelaki itu. Saat menatap Arsen, Rindai menajamkan tatapannya, "Getsa siapa, Sen?"
Fadly, teman kosnya yang kamarnya di lantai bawah itu jadi sasaran Rindai, "lo tahu Fadly?"
Kepala Rindai mengangguk.
"Beberapa hari yang lalu dia pindah kosan. Terus kata Bang Min kamar bekas si Fadly itu udah diisi sama cewek cantik. Namanya Getsa," ucap Arsen.
Ian nimbrung, "kecengan baru si Ijang."
Rindai ber-oh ria. Namun sedetik kemudian dia kembali ingat ucapan Ijang tadi, "terus apa hubungannya sama gue? Kok kayaknya gue lagi dibanding-bandingin sama si Getsa-Getsa itu?"
Ijang yang semula diam mulai kembali bersuara, "itu awalnya si Ian nanya ke gue suruh pilih lo apa si Getsa."
"Terus?"
"Ya gue pilih Getsa lah," ucap Ijang. "Ya coba aja gue tanya Yudhis," Ijang melirik Yudhis. "Dhis, lo kalau disuruh buat pilih Getsa atau Rindai, siapa yang bakal lo pilih?"
Terkejut. Rindai menolehkan kepala menatap Yudhis. Dia baru sadar bahwa sedari tadi di depannya ada Yudhis yang sedang asyik dengan gitarnya sendiri. Seakan hanya badannya saja yang ikut gabung dengan mereka tapi tidak dengan jiwanya.
Semua orang menatap Yudhis. Tetapi lelaki itu tidak menggubris. Baru setelah menyadari bahwa dirinya merasa terganggu karena tatapan orang-orang di sekitarnya, lelaki itu berhenti memainkan senar gitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Turtle Meets A Dog
ChickLitKlien adalah manusia paling random bagi seorang marketing officer radio seperti Rindai. Entah itu soal reaksi yang muncul, bagaimana bentuk wajahnya, dan di mana keberadaan seorang klien semuanya seperti alur cerita yang unpredictable. Mencari klien...