Beberapa hari menghabiskan waktu di rumah sakit memang membuat jenuh. Pemandangan yang dilihat itu lagi, itu lagi. Peralatan rumah sakit, bau obat-obatan, makanan rumah sakit yang entah tidak cocok untuk lidah orang sehat, dan segala tetek bengeknya.
Di hari ke lima ini, keadaan Ayah Rindai sudah semakin membaik. Jika mengajukan permintaan kepada dokter agar Ayah dibawa pulang ke rumah, mungkin sudah diperbolehkan.
Seorang dokter datang ke ruangan Ayah untuk memeriksa keadaannya sebelum pulang ke rumah. Ibu yang menemani Ayah di dalam. Sementara Rindai dan Cia menunggu di luar. Mereka berdua kini duduk di sebuah bangku panjang yang berada di depan ruangan.
Rindai membuka ponsel untuk membalas beberapa pesan yang belum sempat dia balas. Namun di tengah asyiknya dia dengan aplikasi berwarna hijau itu, Rindai merasa sedikit terganggu dengan suara ketukan kaki Cia di lantai. Rindai menatap adiknya dengan tatapan penuh tanya.
Cia memanggilnya, "Mbak.,"
"Kenapa, Ci?"
"Mbak, gimana kabarnya?" tanya Cia.
Kening Rindai berkerut. Mereka sudah berada di ruangan yang sama sejak beberapa hari yang lalu. Tapi Pertanyaan Cia cukup aneh kali ini.
"Kok aneh pertanyaanmu Ci," ucapnya. "Mbak dari kemarin-kemarin di sini kenapa tiba-tiba nanya kabar?"
Kepala Cia menggeleng perlahan. Kemudian dia meraih tangan Rindai, "aku nanya kabar Mbak beberapa tahun yang lalu. Pasti saat itu dan mungkin saat ini, Mbak masih trauma."
Alis Rindai terangkat, "trauma gimana?"
"Waktu dulu saat Mbak nolak nikah sama Mas Ardit, aku ikut ngerasa senang," ucap Cia dengan sorot mata yang dalam. "Dia emang psikopat, Mbak!"
"Eh, psikopat gimana?" tanya Rindai terkejut.
"Aku langsung balik ke Bandung saat menerima kabar kalau Mbak mau dijodohin sama Mas Ardit. Saat perjalanan menuju ke rumah, aku lihat semuanya!" jelas Cia panjang lebar.
Rindai terkejut. Dia memasukkan ponsel ke dalam sakunya agar kini terfokus pada kata-kata Cia yang membuatnya bingung sekaligus penasaran.
Dengan mata yang melebar karena penasaran, Rindai bertanya lagi, "kamu lihat apa, Cia?"
"Di tengah jalan, aku lihat Mbak keluar dari mobil dengan sambil berlari. Wajah Mbak kelihatan gelisah sekaligus takut. Aku ikut lari lihat Mbak kayak orang yang dikejar hantu begitu, " jelas Cia. "Lalu gak lama kemudian, Mas Ardit tiba-tiba ikut lari ngejar Mbak. Aku yang makin bingung, langsung narik tangan Mas Ardit dan nanya sebenarnya apa yang terjadi saat itu."
Cia kembali melanjutkan, "Mas Ardit kelihatan frustasi. Aku langsung nampar pipinya saat dia bilang 'i almost raped, her. Sorry, Cia.' "
Cia mengeratkan genggaman tangannya pad tangan Rindai, "aku yang kalut banget waktu itu, memutuskan pulang untuk ngasih tahu ke Ayah. Begitu sampai rumah, aku lebih kaget dengar ucapan Bi Minah. Katanya Mbak ditampar dan diusir Ayah karena enggak mau dinikahin sama Mas Ardit. Setelah itu aku marah-marah ke Ayah sambil bilang bahwa Mas Ardit adalah lelaki bejat yang gak pantas dijadiin suami buat Mbak Rindai."
Terdengar helaan Napas Cia yang mendalam, "aku menjelaskan semuanya ke Ayah. Awalnya Ayah sempat gak percaya. Dia ingin membuktikannya sendiri dengan datang ke rumah Mas Ardit. Tapi begitu sampai di rumah lelaki brengsek itu, Ayah malah diusir. Perilaku mereka yang begitu kasar ke Ayah membuat Ayah percaya dengan omongan aku. Ayah pulang dengan kepala menunduk dan wajah menyesal," terang Cia.
Tatapan Cia sangat tulus menatap mata Rindai, "selama bertahun-tahun Ayah sama Ibu nggak mau hubungi Mbak karena mereka ngerasa bersalah sama Mbak,"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Turtle Meets A Dog
ChickLitKlien adalah manusia paling random bagi seorang marketing officer radio seperti Rindai. Entah itu soal reaksi yang muncul, bagaimana bentuk wajahnya, dan di mana keberadaan seorang klien semuanya seperti alur cerita yang unpredictable. Mencari klien...