Bab 38

104K 5.4K 298
                                    

Bima duduk meringkuk di atas lantai menengadahkan wajah nya di atas lutut. Bahunya bergetar, semua yang berada di sana tau kalau Bima sebenarnya menangis makanya dia menyembunyikan wajahnya walau suara nya tak terdengar oleh yang lain.

Frida dengan setia duduk di sebelah Bima yang sama-sama duduk di atas lantai dan terus mengusap-usap punggung Bima.

Danil berjalan mendekati Bima dan mengambil posisi sebelah kanan Bima seperti Frida yang berada di samping kiri Bima.

"Maafkan Dady. Maafkan atas sikap Dady yang tidak tegas selama ini. Maaf karena tidak mampu menjaga istrimu." Ucap Danil.

Bima menegakan kepalanya, semua bisa melihat  mata Bima yang memerah. Tapi bukannya merespon ucapan Danil barusan, Bima malah memeluk Frida dengan erat. Danil yang melihat itu menghela nafas.

Di kursi tunggu Vivi dan para sahabat Bima juga ikut berkaca-kaca melihat keadaan Bima. Apalagi dengan Noval, Reno dan Heru yang tidak pernah melihat seorang Bima si playboy itu menangis.

Berbeda dengan Vivi dan Para sahabat Bima.

Riani yang duduk berdua dengan Revan yang wajahnya sudah babak belur memandang Bima dan Riani yang berpelukan dengan cemburu. Ada rasa tidak rela ketika Riani melihat Bima juga menyayangi Frida. Padahal yang membesarkan Bima adalah dirinya, dengan kesalahan nya beberapa waktu belakangan ini yang lebih mendahulukan Revan daripada Bima membuat Bima menjauh dari dirinya.

Tiba-tiba saja lampu yang berada di atas pintu ruang operasi memberi tanda jika opersa nya sudah selesai.

Bima melepaskan pelukan nya dari Frida dan berdiri menunggu dokter keluar.

Ceklek.

"Keluarga pasien."

"Saya suami nya dok." Kata Bima yang langsung menghampiri Dokter yang mengoperasi istrinya.

Bima bisa melihat wajah lelah dokter itu ketika sang dokter membuka maskernya, ada titik-titik peluh di kedua pelipisnya.

"Bagaimana istri dan anak saya dok?" Cicit Revan yang sebenarnya tidak kuat mendengar jawaban dari sang dokter.

Yang lain juga menunggu jawaban dari dokter di belakang badan Bima.

Dokter itu menghela nafas lelah.

"Si ibu selamat."

Bima lega mendengar ucapan sang Dokter tapi air matanya menetes seketika ingat anaknya pasti yang tidak selamat.

"Cucu saya gimana dok?" Sela Frida mewakili Bima yang tidak kuat bertanya masalah itu.

Dokter itu tersenyum dan mengulurkan tangan kepada Bima membuat Bima bingung. Walau bingung dengan sikap dokter tapi Bima tetap menyambut tangan sang dokter dengan wajah yang bingung.

"Selamat anda sudah resmi menjadi seorang Ayah dan putra anda sangatlah tampan." Kata sang dokter membuat semuanya bersyukur. Bima tersenyum di sela tangisnya mendengar ucapan sang dokter.

"Tapi bagaimana keadaan bayi kami dok? Bukankah masih berusia 5 bulan?" Cicit Bima membuat semua tersadar dari kenyataan.

"Ini memang keajaiban, ibu dan anak sama-sama kuat. Sejauh ini bayi kalian terlihat baik dan sempurna. Tapi kita juga perlu melihat pertumbuhan bayi anda selanjutnya untuk membuktikan jika dia benar-benar baik. Untuk waktu yang cukup lama bayi anda harus berada di inkubator karena mengingat usia nya yang masih 5 bulan harus lahir di dunia." Jelas sang dokter mampu menenangkan hati Bima. Walau itu belum menjamin anak nya akan normal seperti bayi lainnya.

****

Bima sudah siap masuk ke dalam ruangan khusus bayi di rumah sakit itu dengan memakai pakaian yang steril khusus di sediakan disana. Bima memandang takjub sosok yang ada di dalam kotak inkubator di depannya itu.

Bayi yang sangat mungil itu, bahkan lebih besar botol dari pada dirinya. Kulit yang masih memerah dan sedikit  mengeriput karena sebenarnya usianya belum pantas untuk di lahirkan, tangan nya bergerak seperti tak nyaman.

Bima memasukan tangannya kedalam lubang bulat kecil yang ada di inkubator itu.

Air mata Bima menetes, baru saja hendak menyentuh tangan si kecil. Bayi itu langsung menggenggam erat jari telunjuk Bima. Dengan suara  pelan Bima mengumandangkan  azan sambil telunjuk nya masih di  genggam sikecil.

"Bertahanlah untuk Papa dan Mama dan buktikan jika dirimu sama seperti bayi yang lainnya." Ucap Bima dengan suara berbisik kepada si kecil agar tak mengganggu ketenangan bayi lain yang juga berada di sana. Tangan si kecik semakin erat menggenggam telunjuk Bima setelah setelah mengucapkan itu membuat senyum terbit di bibir Bima.

"Good boy." Puji Bima.

"Papa mau liat keadaan Mama mu dulu jagoan, sekarang ayo lepas tangannya." Kata Bima bicara dengan si kecil seperti bayi nya bisa menjawab saja.

"Jagoan Papa tidak mau Papa pergi hmm?" Kata Bima karena si kecil tak kunjung melepas jari telunjuknya.

"Baik lah Papa akan menemanimu." Kata Bima lagi berbicara sendiri.

****

Bima berjalan menuju ruang rawat Ara.

Ceklek

Di brangkar rumah sakit Ara tampak tertidur pulas dengan wajah pucat ya, dan tak lupa dengan dua infus di kedua tangannya.

Semua yang ada di ruangan itu langsung memperhatikan Bima yang baru saja membuka pintu.

"Sudah liat anak mu nak?" Itu suara Frida.

Bima menganggukan kepalanya lalu menghampiri Ara yang masih terlelap.

Bima menggenggam tangan Ara yang terpasang infus lalu mengecup nya
Tak lama Dokter masuk dan beberapa perawat membuat Bima harus menyingkir sesaat dari Ara.

"Bagaimana keadaan istri saya dok?"

"Sudah membaik, tinggal menunggu pasien siuman dari bius saja." Kata Dokter.

Bima dan yang lain terdengar berucap syukur  di ruangan itu.

Lalu Dokter memerintahkan agar salah satu perawat melepas infus cairan penambah darah yang ada di tangan kanan Ara karena isi kantong darahnya sudah hampir habis sebelum pamit meninggalkan ruangan itu.

Sudah lebih dari setengah jam kepergian dokter Ara masih saja belum siuman. Bima masih Setia duduk di kursi yang berada di samping brangkar rumah sakit Ara dengan terus menggenggam tangan istrinya.

Bima melihat bekas tusukan infus Ara lalu meniupnya sesekali.

"Mama pulang dulu ya Bim, malam Mama balik lagi membawa makan malam untuk kamu." Pamit Frida.

Melihat Frida yang sudah duluan pergi semuanya juga menyusul pamitan pada Bima.

"Mami pulang dulu ya nak." Kata Riani mendekati Bima.

Bima menganggukan kepalanya tanpa berkata apa-apa. Dan akhirnya tinggallah Bima berdua dengan Ara saja diruangan itu.

"Nghh." Suara Ara yang sudah mulai sadar. Jari tangan nya bergerak-gerak di dalam genggaman Bima.

"Ara." Panggil Bima.

Ara membuka matanya dan tiba-tiba saja air mata Ara menetes melihat siapa yang di lihat nya.

"Jangan menangis sayang." Ucap Bima mengusap air mata Ara.

"Bayiku." Kata Ara tiba-tiba dengan raut cemas.

"Dia baik-baik saja, tapi sekarang sedang di inkubator." Ucap Bima mengecup punggung tangan Ara.

Ara menghela nafas lega mendengar nya dan kemudian tiba-tiba saja Ara melepaskan tangan Bima dan sedikit memiringi tubuhnya  memunggungi Bima membuat Bima mengerinyitkan kening nya.

SUAMIKU ADIK PACARKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang