eighteen ; danger?

2.2K 251 2
                                        

Jeno menatap gusar langit mendung dari balkon rumahnya. Menikmati semburat awan yang berwarna abu-abu pekat. Menyebat sepuntung rokok yang menempel di buah bibirnya, melepaskan asap pekat yang melebur menjadi satu dengan udara. Mata bulan sabitnya terpejam damai, angin semilir menerpa wajahnya yang nampak apik. Tuhan memang menempatkan karya terbaiknya pada pemuda itu.

"Jeno, sedang apa?"

Oh, itu mamanya. Kim Jennie. Wajah tanpa ekspresi - nya selalu membuat Jeno muak--apalagi kalau soal menasehati, itu adalah hal nomor satu. Jennie menatap anak semata wayangnya itu dengan tangan bersedekap di dada. Jeno bersikap seolah dia tak melihat Jennie, tidak mengalihkan atensinya untuk perempuan itu.

"Merokok," Jawabnya dengan nada dingin. Jennie dengan emosi yang meletup-letup ingin segera menampar muka anaknya itu, ia mempertahankan ekspresi datarnya seapik mungkin "Tidak ada rokok, ayo masuk!" Katanya tanpa ekspresi.

Jeno akhirnya menatap malas wanita di depannya ini, melempar puntung rokok itu ke asbak dan masuk begitu saja, melewati Jennie yang menatapnya dalam diam sekarang. Jennie
hanya menghela nafas sambil menutup pintu balkon. Menatap balkon itu dengan tatapan kosongnya, mengingatkannya pada suatu kejadian yang tidak dia inginkan--

[[mission]]

"Taeyong, aku tahu ini sesuatu yang penting--tapi bisakah kamu memikirkannya dua kali? Ini menyangkut anak kita!"

Lelaki bersurai hitam itu hanya menatap istrinya dengan pandangan tanpa ekspresi nya. Sorot matanya langsung menatap tajam perempuan didepannya. Wanita didepannya menatapnya penuh kecewa dan amarah. Taeyong tahu jika istrinya ini benar-benar mengkhawatirkan anak satu-satunya itu. Ia mengusak surai nya kasar.

"Jennie, apakah kamu tidak percaya dengan kemampuan anak kita? Dia sudah dewasa, dia pasti bisa melakukannya!" Seru lelaki itu tanpa mengalihkan atensinya pada wanita itu. "Tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa dia bisa gagal," Wanita itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak pernah bisa membayangkan anak semata wayang nya itu mati dengan sia - sia. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya, melibatkan anaknya dalam misi bodohnya. Jennie--sungguh ingin menampik wajah--yang sialnya--rupawan itu.

"Jennie, percayalah. Jeno juga segalanya untukku. Dia pasti bisa." Bisik Taeyong sambil merengkuh tubuh kecil istrinya, membiarkan istrinya itu menangis di pundak lebar nya. Menumpahkan emosi-emosi yang berkecamuk di dadanya, Jennie sangat tertekan, dia butuh sandaran. "Hiks--tetapi--,"

"Shhh--, semua akan aman," Bisik Taeyong sambil mengelus punggung Jennie. Membiarkan dirinya menangis selama yang dia inginkan. Tapi, keputusan Taeyong sudah bulat, dia tetap akan mengirimkan anaknya itu. Tidak peduli dengan perkataan istrinya. Apapun konsekuensinya.

Ya, apapun.

[[mission]]

Jeno menapakkan kakinya gontai, dia bisa saja melakukan teleportasi sekarang juga ke sekolahnya. Tapi, dia tidak ingin melakukan hal itu sekarang. Karena dia ingin menghampiri seseorang yang mungkin 'berarti' bagi dirinya. Yang membuat dadanya bergemuruh hebat.

"Pagi, Na!"

Pemuda bersurai coklat itu mungkin sudah jatuh dari kursinya bila Jeno tidak berada di belakangnya. "Sial! Kamu membuatku kaget!" Sahutnya ketus sambil memperhatikan lelaki itu dari atas hingga bawah. "Salah sendiri melamun!" Ejek Jeno sambil memperlihatkan ekspresi mengejeknya, Jaemin hanya menatap pemuda dibelakangnya dengan kesal.

"Ayo jalan. Bis sudah datang." Jeno menarik lengan mungil itu ke genggaman besarnya, yang ditarik hanya bisa diam mengikuti langkah cepatnya. Sungguh, tangan Jeno dingin sekali, seperti habis dibekukan selama beberapa hari atau mungkin--bertahun - tahun? Tapi itu wajar, dia sedang ditarik oleh seorang jelmaan vampir.

mission | nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang