Part 4

976 77 0
                                    

Rani duduk di depan cermin sambil mengeringkan rambut. Ia baru selesai mandi dan sepertinya hari ini ia akan bermalas-malasan saja di rumah. Kantornya sedang libur dan ia tak punya rencana untuk pergi kemana-mana. Ia juga tak punya janji dengan Rian atau teman-temannya.

Kalaupun ada yang mengajaknya pergi, ia mungkin akan menolaknya. Sungguh, ia benar-benar tak semangat melakukan aktifitas apapun. Bahkan seminggu ke belakang ia benar-benar buruk dalam pekerjaannya sampai mendapat teguran dari manajer. Dan itu semua karena satu orang.

Fajar Alfian.

Sejak sesi saling jujur itu, Rani tak bisa berpikir dengan jernih. Pikirannya selalu terarah ke hal tersebut. Ia tak bisa berhenti melupakan pengakuan Fajar. Ia tak bisa mengabaikan perkataan Fajar. Sudah lama ia menantikan momen tersebut, ketika Fajar menyatakan perasaannya. Andai tidak sedang berada dalam ikatan dengan orang lain, ia jelas akan menyambut baik perasaan Fajar. Tapi kenyataannya, sekarang ia dihadapkan pada fakta bahwa dijari manisnya sudah melingkar sebuah cincin berlian pemberian Rian.

Dua minggu lalu tepatnya, Rian melamarnya. Tepat di depan kedua orang tuanya, Rian yang saat itu baru akan berangkat untuk turnamen di Jerman tiba-tiba saja mengatakan bahwa ia ingin melamar Rani. Rani tak bisa berkata-kata. Ia sendiri terkejut karena sebelumnya Rian tak bicara apapun. Ia hanya tau Rian ingin berpamitan untuk ke luar negeri.

"Kamu serius?" tanya Rani saat itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tersentuh dengan ketulusan dan keberanian Rian. Tapi sesungguhnya ia belum siap untuk diikat dalam sebuah hubungan yang lebih serius lagi.

Rian mengangguk. "Aku serius. Dan aku udah mikirin ini matang-matang. Ibu aku juga udah setuju. Makanya sekarang aku kesini, ngomong sama kamu di depan orang tua kamu. Apa kamu mau berlanjut ke tahap yang lebih serius lagi sama aku?"

Rani tak bisa menjawab. Ia menoleh pada kedua orang tuanya dan mereka sudah sibuk mengelap air mata. Mereka memberikan isyarat agar Rani mengangguk. Dan detik berikutnya Rani benar-benar menganggukkan kepalanya. Setelah itu, Rian memeluknya lantas melingkarkan cincin dijari manisnya.

Sekarang, Rani sedang menatap cincin itu. Jika sebelumnya ia berada dalam tahap untuk meyakinkan diri, maka sekarang ia berada dalam tahap keraguan yang amat besar. Haruskah ia melepas cincin ini? Tapi....apa ia tega untuk melakukan hal bodoh itu pada seorang pria baik seperti Rian? Rian tak salah apa-apa. Rian tak tau apa-apa. Ia dan Fajar lah yang salah disini karena tak jujur sejak awal.

"Rani..."

Rani tersadar. Suara ibunya terdengar di balik pintu.

"Iya, Ma. Bentar."

Rani merapikan alat pengering rambutnya lalu membuka pintu. Ibunya tersenyum.

"Ada Rian di bawah."

Rani menghembuskan nafasnya.

"Kenapa? Kok kaya gak senang gitu?"

"Gak kok, ma. Bentar Rani ke situ."

Ibunya pergi. Rani menutup pintu lalu menyandarkan tubuhnya sejenak. Ia atur nafasnya. Ia tenangkan diri lebih dulu. Ia tak mau menampakkan kegalauannya di depan Rian. Setelah siap, ia pun turun dan melihat Rian sedang berbincang dengan ibunya. Rian mengenakan celana jeans hitam dan kaos lengan pendek berwarna putih. Sadar kedatangan Rani, Rian tersenyum. Senyum lembut yang hanya membuat Rani semakin diselimuti rasa bersalah.

"Yan...kok gak ngabarin mau kesini?" tanya Rani sambil menuruni tangga.

"Aku telponin kamu tapi gak aktif."

"Oh....sorry, aku belum ada ngecek hp dari pagi."

Kini Rani duduk di sebelah ibunya. Belum sempat Rani bertanya lagi, ibunya lebih dulu bicara.

"Jadi gimana, yan? Kapan kamu bawa keluargamu kesini?" tanya ibunya dengan amat antusias. Rani hanya bisa membeku. Ia rasanya ingin segera menghilang saja.

"Secepatnya, ma. Aku masih liat jadwal turnamen dulu. Tapi kemungkinan besar setelah All England nanti. Karena setelah itu ada libur tiga minggu. Gimana, Ran? Kamu setuju atau gimana?"

Rani tersenyum kecil. "Terserah kamu aja."

"Duh, mama udah gak sabar, nih. Ya udah kalian ngobrol aja. Mama ke kamar dulu. Iyan diminum tehnya."

"Iya, ma."

Rian meminum tehnya. Dan setelahnya ia sadar akan gerak gerik Rani yang nampak tak tenang.

"Kamu kenapa?" tanya Rian pelan.

"Aku? Gak apa-apa."

"Jangan bohong. Kamu keliatan gak nyaman. Ada masalah? Atau sebenarnya kamu gak nyaman dengan rencana lamaran aku yang mendadak?"

Rani menoleh cepat. "Gak, yan. Aku beneran gak apa-apa."

Rian meraih kedua tangan Rani. Ditatapnya mata Rani dalam-dalam.

"Rani....kalau memang kamu ngerasa ini mendadak dan kamu belum siap, kamu ngomong aja. Aku gak apa-apa kok kalau harus nunggu kamu. Kapapun itu, aku bakalan nunggu."

Rani berusaha keras menahan diri agar tak menangis. Kenapa Tuhan mengirimkan pria sebaik ini padanya? Dan kenapa anugerah sebesar ini sulit untuk ia terima? Harusnya...saat ini ia adalah wanita paling beruntung di dunia. Tapi sekarang ia justru merasa tak ingin berada dalam situasi ini.

"Aku baik-baik aja, yan. Aku sama sekali gak masalah dengan rencana kamu."

"Yakin?"

Rani mengangguk sembari tersenyum. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia tak kuasa menolak.

"Jadi, mau ikut aku ke pelatnas gak? Sekalian jengukin Fajar juga. Kemarin kamu gak ikut waktu aku jemput dia dari rumah sakit."

Setelah nama Fajar disebut, Rani malah semakin pusing. Seminggu ini ia berusaha keras menghindari kontak dengan Fajar. Mereka tak berkirim pesan, Rani tak menjenguk Fajar di rumah sakit, tak juga ikut menjemputnya kemarin.

"Mau, ya? Temenin aku latihan sesi 2. Terus kita ngobrol-ngobrol sama Fajar. Sekalian aku juga mau ngabarin soal rencana lamaran aku."

Tidak! Tidak! Rani ingin sekali bilang tidak!. Tapi....mana mungkin ia melakukannya. Maka sekali lagi ia mengangguk. Dan beberapa menit kemudian mereka sudah berada di jalan, di mobil Rian menuju pelatnas.

Sepanjang perjalanan tak ada percakapan antara keduanya. Rian fokus menyetir sedang Rani memandang keluar jendela sambil terus berpikir kemana semua ini akan berakhir. Apa ia memang benar-benar harus menerima Rian? Dan mengubur perasaannya pada Fajar?

"Kamu melamun lagi."

Rani menoleh ke kanan. Ia tersenyum. Rasanya jahat sekali ia karena sejak tadi mengabaikan Rian. Padahal ia tau tak setiap hari mereka bisa berdua seperti ini. Biasanya ia akan sibuk dengan pekerjaannya sedang Rian sibuk dengan latihan dan turnamennya.

Tak ingin merusak suasana, Rani menindih telapak tangan Rian yang tak memegang stir mobil.

"Sebenarnya aku laper, yan. Belum makan siang."

Rian tertawa pelan. "Ya ampun, kok gak bilang? Ya udah kita cari makan dulu baru kita ke pelatnas. Masih ada waktu, kok."

Mereka pun makan siang lebih dulu. Bagi Rani, setidaknya ia punya waktu beberapa saat dulu untuk menenangkan diri sebelum nanti menemui Fajar. Ia sudah punya rencana. Disana....ia akan mengajak Fajar bicara. Berdua.

                                     ****

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang