Part 8

812 81 0
                                    

"Eh..eh Jom!! Lu mau kemana?"

Widi, salah satu wartawan PBSI memanggil-manggil Rian. Dengan setumpuk map ditangannya, ia berusaha menghentikan Rian yang terus berjalan memegang tangan Rani.

"Woi Jom! Lu masih hutang satu wawancara sama gue!!"

Percuma. Rian terus berjalan tanpa menoleh.  Ia berlalu begitu saja dan hilang secepat kilat. Widi bingung. Rian nampak sedang marah dan rasanya Widi tidak pernah melihat Rian seperti itu. Kalau melihat Rian merajuk karena dijahili, sering. Tapi melihat Rian emosi, ia belum pernah. Belum tuntas rasa penasarannya, ia dibuat penasaran lagi saat melintas di tempat latihan para atlet dan melihat Marcus sedang menutupi pelipis Kevin dengan plester. Ia pun masuk.

"Ada apa nih?" tanya Widi pada siapapun yang hendak menjawab. Disana atlet ganda putra berkumpul beserta pelatihnya. Ada Fajar juga.

"Eh ada Fajar. Apa kabar lu?" sapanya saat menyadari kehadiran Fajar.

"Baik Mba Wid."

Karena tak ada yang menjawab pertanyaannya yang pertama, Widi bertanya sekali lagi.

"Kevin kenapa sih kok gak ada yang mau jawab?"

Wahyu lalu menarik lengan Widi, menjauh sedikit dari kerumunan.

"Iss...kenapa sih? Itu si Kevin kenapa? Jatoh? Tapi kok suasananya gak enak ya?" tanya Widi beruntun. Wahyu berbisik.

"Tadi Kevin sama Jombang ribut. Itu pelipisnya Kevin berdarah habis di smash Jombang."

"WHAT???"

"Sssttt.....diem napa mba!"

Widi menutup mulutnya, sadar sudah kelepasan. Tapi bagaimana ia tidak kaget. Yang ribut adalah dua roomate. Dua orang yang sangat dekat.

"Pantesan tadi gue panggilin Jombang dia gak nengok. Lagi ribut ternyata."

Wahyu hanya mengangguk. Kemudian kembali ke lapangan karena intruksi pelatih. Latihannya sepertinya akan dilanjutkan, tapi kali ini tanpa Rian. Reza pun hanya melakukan latihan ringan. Sendirian.

Widi yang masih penasaran akhirnya mendekati Fajar yang duduk diam di kursi panjang pinggir lapangan. Kursi rodanya menganggur di dekatnya.

"Jar, Jombang sama Kevin kenapa? Kok bisa berantem?"

Fajar menggeleng. "Gak tau mba. Gue juga gak paham."

Sepertinya memang tidak ada yang memiliki jawaban memuaskan. Maka Widi memilih keluar dan kembali ke rutinitasnya. Sementara Fajar masih diam diposisinya. Ia masih penasaran apa yang menyebabkan Rian mendadak berubah seperti tadi. Jujur, ia masih tak bisa bayangkan jika yang ditakutkannya terjadi. Yakni fakta bahwa Rian melihat dan mendengar pembicaraannya dengan Rani.

Ia merasa jahat. Harusnya tadi ia menahan Rani. Harusnya ia tadi tak membiarkan egonya bekerja. Harusnya kesadarannya masih ada dan bisa mengontrol situasi. Tapi ternyata ia tak sanggup. Ia tak bisa menolak ketika Rani menciumnya. Ciuman pertama dan mungkin terakhir yang ia lakukan seumur hidupnya.

Fajar berdoa. Semoga ketakutannya tidak terjadi. Semoga Rian tidak melihat kejadian itu dan semoga Rian tidak mendengar satu katapun dari percakapan konyol itu. Semoga.

***

Rian masih diam di mobilnya. Di sampingnya, Rani juga diam. Tak berani buka suara. Sudah hampir sepuluh menit mereka berdiam diri di dalam mobil, tepat di depan Rumah Rani. Hari sudah malam dan Rani masih belum temukan jawaban kenapa Rian sampai marah seperti tadi. Ia ingin bertanya, tapi takut. Karena selama mereka berhubungan, tidak pernah ia melihat Rian bersikap seperti ini. Jelas mereka pernah bertengkar, tapi tidak sampai begini. Rian tidak pernah menarik tangannya kasar seperti tadi. Rian tidak pernah menampakkan emosinya seperti tadi. Rani benar-benar bingung.

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang