Pertama kali Rian sadar akan sifat peduli dari Fajar adalah ketika mereka memenangkan turnamen internasional pertama mereka di Laos. Waktu itu usia mereka baru 18 tahun. Melawan pasangan dari Jepang, mereka menang telak dua game langsung.
Waktu itu Rian masih risih dengan Fajar. Mereka hanya berkomunikasi di lapangan. Di luar itu, Rian enggan terlibat hal apapun dengan Fajar. Ia anti dengan Fajar, bahkan saat tahu ia dipasangkan dengan Fajar pun ia sempat protes pada pelatih. Siapa saja asal bukan Fajar Alfian.
Bukan apa-apa. Rian hanya tak suka dengan sifat Fajar yang suka membuat keributan. Dimana-mana yang ia dengar hanya suara tawa Fajar atau suara temannya yang meneriaki Fajar karena dijahili. Fajar berisik, sok akrab, jahil, lebay, dan lain-lain. Intinya, Fajar adalah tipe orang yang tak bisa masuk dalam keseharian Rian.
Namun, setelah hari itu, perlahan-lahan pandangan Rian berubah. Selama pertandingan berlangsung, jujur Rian merasa gugup. Itu adalah final pertama mereka sejak dipasangkan. Lawannya dari Jepang yang sangat diunggulkan. Sementera mereka adalah pasangan baru yg masih bau kencur. Dan yang berhasil menenangkan Rian hingga bisa fokus pada pertandingan adalah Fajar. Intruksi pelatih bahkan tak mempan.
Fajar yang terus menyuntikkan semangat, yang terus berkata bahwa Rian bisa. Yang terus memberikan arahan tentang apa yang baiknya mereka lakukan. Dan hasilnya pun memuaskan. Mereka menang.
Turun dari podium, Fajar mengalungkan lengannya ke leher Rian. Meski risih, Rian berusaha tak menolak.
"Ntar kalo hadiah udah cair, kita traktir anak-anak ya, Jom. Nanti kita beliin sesuatu juga. Baju, topi atau apa gitu. Mereka pasti seneng."
Rian heran. Fajar mengatakannya begitu ceria seolah ia baru saja menang hadiah ratusan juta. Padahal hadiah mereka tergolong sangat kecil. Nanti juga dibagi dua. Tapi Fajar malah berpikir untuk membaginya, bukan menabungnya atau untuk membeli keperluan pribadi.
"Hadiah turnamen internasional pertama, nih. Gak apa-apa kan kalo kita berbagi? Nanti dipertandingan selanjutnya baru deh ditabung."
Ini juga yang membuat Rian bingung. Fajar itu selalu tahu apa yang ada dikepalanya meski ia tak bicara satu kata pun.
Jadi, itu hanya satu hal kecil yang perlahan-lahan membuat Rian bisa menerima Fajar sebagai patnernya. Masih banyak hal lain yang tak bisa ia sebutkan. Namun, ada satu hal konyol yang hingga saat ini masih ia ingat.
Waktu itu Rian demam tinggi. Hari sudah larut, hujan deras, mati lampu. Fajar yang panik langsung berlari menembus hujan ke kantor PBSI, ke ruang kesehatan untuk mencari obat. Tapi percuma. Kantor sudah tutup, tidak ada siapa-siapa disana. Dengan kesal, ia kembali ke asrama dan terkejut menemukan Kevin di dalam kamar sudah mengompres Rian dan memberinya obat.
"Obat dari mana?"
"Obat-obatan kan lengkap, Jar di belakang. Lu juga tadi langsung kabur aja bukannya ambil air buat kom...lu habis dari mana?"
Kevin terdiam melihat Fajar di depan pintu. Badannya basah kuyup. Rambut berantakan. Kaki sampai celana pendeknya kotor seperti terkena cipratan lumpur. Dengan suara bergetar karena kedinginan Fajar menjawab.
"Gue dari kantor, cari obat tapi udah tutup."
"Dan lu gak pake payung, gak pake sandal?" tanya Kevin lagi.
Fajar mengangguk polos.
"Hahahaha....lu kok bodohnya gak ketulungan, Jar."
Besoknya, Fajar ikutan sakit. Ia demam dan flu. Jadi ia dan Rian tak ikut latihan selama dua hari. Dan itu jadi bahan tertawaan teman-temannya selama latihan.
Kini....Rian baru menyadari satu hal. Bahwa ternyata Fajar telah melakukan pengorbanan lain untuknya. Pengorbanan yang sangat besar.
Rian berbalik sejenak. Ia usap air matanya. Ia tarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Sebisa mungkin ia berusaha bersikap normal. Ia lihat disana Rani dan Fajar juga sibuk mengelap mata dan pipi dan mereka. Setelah berhitung sampai tiga, Rian pun menghampiri mereka.
"Kalian disini, toh. Tau-tau ngilang aja."
Fajar dan Rani gugup. Rani buang muka, sekali lagi mengelap pipinya. Sementara Fajar....ia lah yang selalu paling pandai dalam hal berakting.
"Ini cewek lu tadi ngajak keluar, katanya mau curhat. Ternyata dia ngasih tau gue kalo lu udah lamar dia. Beneran, Jom?"
Rian menahan emosi. Ingin sekali ia berteriak dan menyuruh Fajar berhenti tersenyum dan pura-pura bahagia. Fajar terlalu sering berakting.
"Iya, Jar."
Hanya itu yang bisa diucapkan Rian.
"Gila temen gue Jombang. Udah gede lu ya. Udah lamar cewek aja. Gak ijin lagi sama gue."
Rian hanya tersenyum. Rasanya ia ingin memeluk Fajar.
"Selamat Jom. Gue ikut seneng buat kalian berdua. Mudahan gue masih ada umur buat liat kalian nikah."
Sialan. Rian tidak sanggup mendengarnya. Ia juga bisa melihat Rani disana sekali lagi mengusap air matanya. Tak ingin semua menjadi tidak terkontrol, Rian beralih mendorong kursi roda Fajar.
"Nanti aja dibahas. Lu dicari coach Ar. Katanya pengen ngobrol lagi sama lu."
Rian berjalan bersama Fajar meninggalkan Rani beberapa langkah. Rian tak menyapanya sejak tadi. Ia ingin membiarkan Rani menenangkan diri dengan caranya sendiri.
Sesampainya di lapangan, Rian kembali berlatih. Jika tadi ia melawan Wahyu dan Ade, sekarang ia melawan Kevin dan Marcus.
Ia tak tenang. Sepanjang permainan pikirannya hanya berputar pada apa yang tadi ia lihat dan ia dengar. Ia marah. Ia kesal. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya tapi ia tak bisa.
Aku jadi ragu sama perasaan aku ke Rian
Kamu cuma cinta sama Rian dan selamanya akan tetap seperti itu. Rian adalah laki-laki terbaik buat kamu
Arghhhh
Buggg
Bola tanggung, Rian melakukan smash keras yang mengenai badan Kevin.
"Wooo santai Jom," ujar Kevin sambil mengembalikan shuttle cock.
Rian menggeleng. Ia tidak bisa fokus kalau seperti ini terus.
"Fokus Jom!!" teriak Fajar dari pinggir lapangan. Rian melihatnya sekilas dan itu semakin membuat emosi Rian membuncah. Pada permainan berikutnya, Rian bermain seperti orang kesetanan. Semua blla ia pukul keras. Tak ada variasi. Yang ia lakukan hanya terus mematikan bola. Begitu ada bola tanggung, ia kembali melakukan smash keras yang kali ini tepat mengenai pelipis Kevin.
Kevin meringis menutup sebelah matanya. Dan ternyata pelipisnya berdarah. Kesal, Kevin menyeberangi net lantas mendorong Rian.
"Lu kalo main yang bener! Jangan pake emosi!"
"Vin..Vin..tenang Vin."
"Apa lu! Baru segitu aja udah mau nangis lu!!"
Situasi tak terkendali. Kevin dan Rian saling dorong sementara yang lain menengahi. Marcus dan Wahyu menarik Kevin. Rian ditahan oleh Reza dan coach Herry.
"Kalian kenapa jadi kaya anak kecil?" Bentak sang pelatih. Mereka pun terdiam. Tapi Kevin dan Rian masih saling melempar tatapan kesal. Rian dengan dada yang naik turun lalu menjauhkan tangan Reza dari bahunya. Tanpa menghiraukan perkataan pelatihnya, ia menyingkir dari sana lantas menarik tangan Rani keluar. Ia melewati Fajar begitu saja. Meski Fajar memanggilnya, ia tak merespon.
Fajar khawatir. Ia tidak pernah melihat Rian emosi seperti tadi. Mata Rian nampak dipenuhi amarah yang tertahan. Bukankah sebelumnya semua baik-baik saja? Sejak tadi Rian nampak dalam mood yang baik. Nampak tak ada hal buruk yang terjadi. Semua baru berubah setelah.......
Fajar menoleh cepat ke pintu. Ia bangkit dari kursi rodanya lalu berjalan ke depan. Tapi sudah tidak ada Rian atau Rani disana.
"Udah Jar. Jangan dikejar. Biarin aja Rian tenang dulu. Mungkin dia lagi ada masalah."
Perkataan sang pelatih membuat Fajar harus menunda langkahnya. Ia sandarkan kepalanya ke pintu.
Jika tebakannya benar, maka besar kemungkinan kalau Rian melihat apa yang ia lakukan dengan Rani. Lalu.....apakah Rian juga mendengarnya?
.
.
.
.
.
.
yuhuuuuuu...
Jangan lupa vote dan commentnya ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.