"Kamu bisa diem gak, Jar?"
Fajar cengengesan sendiri. Ia menggaruk kepalanya lalu duduk di sofa. Sejak tiba di apartemen kemarin, ia sibuk membantu ibu, bapaknya, dan Rani membereskan barang bawaannya. Sudah diperingati agar jangan ikut membantu, tapi tetap ngeyel.
"Duduk, diem disini. Atau mau aku kunciin di kamar?" ancam Rani. Fajar mengangguk patuh. Ia duduk di sofa, meluruskan kakinya lalu bersandar dengan bantal. Sudah jelas ia lelah, tapi masih sok kuat.
Kemarin Fajar memang sudah pindah ke apartemen. Letaknya sangat dekat rumah sakit tempat biasa ia melakukan perawatan. Biayanya juga murah.
Sebelum pindah, ada sesi pamitan dengan teman-temannya di pelatnas. Semua atlet, dari yang junior sampai senior, juga para pelatih berkumpul di lapangan, mendengarkan ucapan perpisahan dari Fajar. Tidak ada kata-kata perpisahan penuh kesedihan pada umumnya. Fajar malah membuka aib teman-temannya dan mengatakan bahwa ia pasti akan merindukan hal itu. Lalu Fajar menyalami semuanya, ada beberapa yang dipeluknya, termasuk Ginting.
Fajar tadinya hanya ingin melakukan tos ringan, tapi Ginting memeluknya. Erat. Lama.
"Lu panutan gue, Jar. Makasih buat semua ilmu yang lu kasih ke gue," ujar Ginting saat mereka masih berpelukan. Fajar sendiri heran. Seumur-umur kenal Ginting, belum pernah Ginting bersikap serius seperti itu. Ginting itu sebelas dua belas dengan Fajar. Jahil. Tapi Ginting adalah versi yang lebih tenang. Tidak berisik seperti Fajar.
"Ini gue cuma mau pindah, loh. Kenapa jadi melow gini?"
Tak ada yang menanggapi pertanyaan Fajar. Sesi salaman dan berpelukan berlanjut hingga tiba pada giliran Rian.
Rian diam. Menunduk, memainkan kakinya tidak jelas. Fajar lalu membuka tangannya lebar-lebar.
"Lu gak mau peluk gue?"
Rian mengangkat wajahnya. Melihat Fajar yang tersenyum lebar. Ia ragu. Takut. Takut kalau ujung-ujungnya ia malah nangis lagi seperti sebelumnya. Banyak atlet junior, malu.
"Ya udah sini gue aja yang peluk."
Fajar memeluk Rian. Menepuk-nepuk pundaknya pelan. Tidak ada pesan, karena satu kalimat tidak akan cukup mewakili hal yang ingin disampaikan oleh Fajar. Tapi Fajar yakin, tanpa diucapkan, Rian sudah paham.
"Gue pamit ya. Good luck buat All England dan semoga kalian pulang bawa gelar."
Ucapan Fajar diamini semua orang. Ia lalu pergi, menggunakan mobil PBSI menuju apartemen barunya. Sebelum masuk ke mobil, Fajar sempat diam beberapa detik menatap kawasan luas di depannya. Menatap gedung besar PBSI juga deretan asrama di belakangnya yang sudah ditinggalinya selama bertahun-tahun. Ia pasti akan sangat merindukan tempat itu.
"Jangan melamun! Baca ini aja deh."
Rani memberikan sebuah buku biografi pada Fajar, sementara Rani lanjut merapikan barang-barang bersama orang tua Fajar.
Sebenarnya tidak ada banyak barang. Selama diasrama, semua peralatan dan fasilitas sudah lengkap. Jadi yang dibawa oleh Fajar ke apartemen kebanyakan pakaian saja. Selain itu ada dua buah tas raket lengkap dengan isinya. Dua kardus sepatu dan sandal. Tiga kardus berisi hadiah dari penggemar, dan beberapa peralatan dapur yang baru dibelikan oleh Rani.
"Tas obat-obat kamu dimana?" tanya Rani setelah kembali dari dapur.
Fajar berpikir. Ia menunjuk tas pakaiannya yang berwarna biru tua di dekat pintu kamarnya.
"Didalam situ deh kayanya. Lupa."
Rani mendengus. Fajar memang selalu menyepelekan beberapa hal. Termasuk soal kesehatannya. Ia pun membuka tas yang dimaksud dan menemukan tas berukuran sedang berisi obat-obatan Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.