Part 20

825 87 3
                                    

"Bilangin sama Fajar, ibu minta maaf gak jadi ke sana. Tapi kalo besok pasti ibu ikut anter ke bandara."

Rian senyum tipis. Ia memakai sandalnya lalu mengangkat tas besarnya. Isinya bantal dan selimut. Ia sudah siap menemani Fajar malam ini. Kalau disana sudah ada Ginting ataupun Jojo, ia akan menyuruh mereka pulang saja. Pokoknya malam ini mau sama Fajar. Puas-puasin. Ngapain aja terserah. Rian sudah janji sama diri sendiri malam ini ia akan bersama Fajar, menuruti segala permintaannya. Mungkin pijitin kakinya, main game bareng. Apapun itu.

"Iya, nanti aku bilangin. Aku berangkat dulu bu."

Rian cium tangan ibunya lalu pergi dari hotel. Ibunya harusnya ikut. Tapi keponakannya, anak dari kakaknya mendadak badannya panas. Tadi sudah diberi obat dan sekarang tidur. Ibunya tidak berani meninggalkanya. Karena biasanya kalau sedang sakit, anak berumur 6 tahun itu lengket dengan neneknya. Rewel.

Rian pun pergi dengan mobilnya. Memutar musik untuk menghilangkan kejenuhan. Atau lebih tepatnya mengusir perasaannya yang tak nyaman. Sejak tadi ia merasa tidak enak. Yakni sejak acara lamaran sore tadi selesai. Dan ini semua berhubungan dengan Fajar.

Entahlah. Mengingat pertemuan terakhirnya tadi dengan Fajar, rasanya ia tidak rela kalau Fajar pulang. Ia seperti ingin berlama-lama melihatnya. Dan begitu tidak melihatnya, ia jadi gelisah. Ia sudah berusaha membuang jauh-jauh perasaan buruk itu. Tapi percuma. Ia tetap merasa harus cepat-cepat ke rumah sakit. Maka tadi selepas sholat maghrib, ia langsung siap-siap. Namun, sepertinya perjalanannya akan tertunda.

Jalanan macet!

Rian berhenti. Ia mengeluarkan kepalanya dan  melihat sepertinya beberapa meter di depannya terjadi sesuatu. Tapi ia tidak tahu. Yang ia lihat sejauh mata memandang hanyalah antrian kendaraan yang terus membunyikan klaksonnya. Penasaran, ia pun bertanya pada pengendara motor di sebelahnya.

"Ada apa ya pak?" tanyanya dengan nyaring. Suasananya ribut sekali. Pria itu membuka kaca helmnya lantas menjawab, "Kayanya ada kecelakaan, truck sama mini bus. Tadi kata bapak-bapak disitu, trucknya kebalik ngalangin jalan."

Rian mengangguk paham. Sepertinya ia harus cari jalan lain. Ia pun menengok ke belakang. Namun, yang ia lihat justru lebih parah lagi. Kendaraan di belakangnya lebih padat. Seketika harapannya sirna. Ia terjebak. Ia tidak bisa kemana-mana selain menunggu polisi mengatur lalu lintas dan ia bisa lewat.

Kemudian ia mencari handphonenya, bermaksud menelpon Ginting menanyakan kondisi Fajar. Jujur, makin detik ia makin tak tenang.

"Loh...kok gak ada?"

Ia bergumam sendiri. Ia sudah merogoh saku jaketnya, saku celananya, membuka tasnya dan benda berwarna abu-abu itu tidak ia temukan. Apakah tertinggal di hotel?

.
.
.

"Gimana? Belum aktif juga?"

Ginting menggeleng. Ia turunkan handphone dari telinganya dan menatap Jojo dengan pasrah.

"Kemana sih itu anak?" gumam Ginting.

Sekarang, ia beserta teman-temannya sudah berkumpul di rumah sakit. Mereka berdiri dengan gelisah dan semua sibuk dengan handphone masing-masing, yakni untuk mencari keberadaan Rian. Waktunya tinggal sedikit lagi.

"Riannya belum bisa ditelpon?" tanya Ibu Fajar yang baru keluar dari ruang rawat anaknya.

Ginting menggeleng. Wanita itu pun tersenyum pahit.

"Masih ada waktu. Kita belum tau berangkatnya jam berapa."

Wanita itu diam. Nampak berusaha tegar dengan sesekali tersenyum. Tapi tak ada yang bisa menampik bahwa ialah yang paling hancur saat ini.

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang