Part 9

828 85 12
                                    

Suasana latihan pagi ini berjalan lancar. Rian dan Kevin nampak sudah saling bercanda dan tertawa bersama. Tak ada keributan seperti kemarin dan Fajar melihat itu dari pinggir lapangan.

Ia baru masuk dan senang melihat Rian sudah kembali seperti semula. Maka ia setia duduk menonton latihan teman-temannya sambil sesekali menyemangati. Rian juga sempat menoleh padanya dan tersenyum. Sepertinya suasana hati Rian sudah baik.

Begitu latihan dihentikan sejenak, Rian menghampirinya. Ia sodorkan sebotol air mineral yang langsung diminum Rian.

"Makasih, Jar."

Fajar mengernyit. Jarang-jarang Rian mengatakan terima kasih.

"Udah mendingan?" tanya Fajar saat Rian duduk di sebelahnya, membuka kaosnya yang basah karena keringat.

"Emangnya gue sakit?" tanya Rian balik.

"Maksud gue soal kemaren. Lu udah gak marah-marah lagi?"

Rian menggeleng. "Gak. Gue udah minta maaf sama Kevin, sama Coach Ar, coach Herry juga. "

Fajar melihat Rian yang bersikap biasa saja seolah tak ada hal yang terjadi. Apa semua ini hanya ketakutannya saja? Apa memang benar Rian tak melihat apapun kemarin?

"Jadi kemaren tuh kenapa? Lu ada masalah?" tanya Fajar lagi. Ia masih butuh jawaban memuaskan. Ia masih belum tenang.

Rian mengelap keringat disekujur tubuhnya. Ia lalu minum lagi. Kemudian menjawab, "Masalah sepele, Jar. Cuma gue aja yang kekanakan. Lu tanya sama Rani aja deh. Gue males ngulang ceritanya."

Fajar hanya mengangguk. Oke, sepertinya ia bisa menarik kesimpulan bahwa Rian tak melihat apa-apa dan semua baik-baik saja.

"Lu khawatir sama gue?"

Pertanyaan Rian membuat Fajar tersenyum lebar.

"Iyalah. Gue gak pernah liat lu kaya kemaren. Lu ngambek sih sering. Tapi paling gue sogok pake makanan juga lu happy lagi."

"Wedus lu!"

"Hahaha....."

Fajar tertawa. Itu mengundang perhatian beberapa orang disana. Mungkin mereka lupa, kapan terakhir kali tempat latihan itu dipenuhi oleh gema dari tawa Fajar.

"Jar. Gue gak mau lu terus pikirin soal gue, atau soal siapapun. Lu harus fokus sama kesehatan lu. Pengobatan lu. Lu kenapa gak lanjut berobat di Singapur aja sih? Dokter juga udah nyaranin, kan?"

Fajar malas membahas itu. Ia inginnya bicara masalah yang lain. Masalah perkembangan latihan Rian dan Reza, masalah turnamen minggu depan, masalah Kevin dan Jojo yang sampai sekarang belum pernah dilihatnya bicara berdua, atau masalah pelatih ganda putri yang katanya akan diganti. Ia tak suka membicarakan masalah kesehatannya.

"Jar..." panggil Rian sekali lagi.

Fajar menghembuskan nafasnya berat. "Males gue. Mau disana atau disini sama aja. Malah lebih enak disini, Jom. Disana gue gak bisa ngapa-ngapain. Gue gak boleh ketemu siapa-siapa selain keluarga. Gue diisolasi. Emang sih hasilnya waktu itu gue sempat sembuh, tapi kan ujung-ujungnya gue sakit lagi. Ya udah, mending disini, deket keluarga sama anak-anak."

"Deket anak-anak apa deket gue?" goda Rian.

Fajar melempar handuk ke wajah Rian. "Lu kok jadi nyebelin sih? Sana lanjut latihan sana!"

Rian tertawa. Ia kembali memakai kaosnya dan latihan lagi. Fajar senang melihatnya. Sepertinya apa yang ia pikirkan semalam tak terjadi. Rian tidak tahu, tidak lihat dan tidak dengar apa-apa. Rian bersikap seperti biasa bahkan hari ini anak itu jadi lebih menyenangkan. Artinya, tak ada hal buruk yang terjadi. Ia lega.

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang