Rian duduk di sebuah bangku panjang. Letaknya di pinggir lapangan belakang asrama. Lapangan ini biasa dipakai lari pagi. Atau dipakai atlet untuk tes fisik dan latihan footwork. Kalau hari libur dan beberapa atlet tidak pulang kampung, lapangan ini dipakai main bola, bukan bulutangkis.
Sekarang sudah jam 9 malam. Biasanya Rian sudah di dalam kamar, main game sampai jam 10 lalu tidur. Tapi tidak sekarang. Ia duduk memeluk tubuhnya sendiri. Mengatupkan bibir rapat-rapat menahan dingin. Ia kedinginan. Harusnya tadi ia memakai jaket, celana panjang, kaos kaki atau minimal menggulung tubuhnya dengan sarung. Ini malah cuma pakai kaos lengan pendek, celana pendek dan sandal jepit. Ingin kembali ke kamar, tapi ia belum ngantuk. Masih mau disini, masih mau......menenangkan diri.
"Jom!"
Rian menoleh ke belakang. Fajar berlari kecil sambil membawa jaket dan sarung kotak-kotak tersampir dibahunya.
"Gue cariin lu di kamar kata Kevin lu ngilang dari maghrib. Tadi di mushola juga lu gak ada. Udah isya belum lu?"
Fajar menutup tubuh Rian dengan jaket. Biarpun sambil ngomel-ngomel, ia tetap memperhatikan anak itu. Sarung dibahunya juga ia ambil, ia lebarkan lalu ditaruh dipaha Rian hingga menutupi kakinya. Rian diam saja. Ia memang kedinginan.
"Eh gue tadi nanya udah isya belum?" tanya Fajar lagi yang sudah duduk di samping kanan Rian.
"Udah. Gue tadi sholat di masjid depan bareng mas Gyon," jawab Rian sekedarnya. Ia merapatkan jaket Fajar yang aromanya khas sekali. Wangi parfum Fajar masih menempel disitu. Tapi kemudian ia memperhatikan jaket tersebut dan ia sadar bahwa itu jaketnya yang sudah lama ia cari.
"Ini gue nyariin dari jaman kapan taunya di elu?"
Fajar memasang wajah tidak tahu menahu. "Itu jaket gue!"
"Ngawur! Ini gue beli di Korea tahun lalu bareng Kevin. Baru dua kali gue pake udah gak ada dilemari."
"Ya udah sih. Biasanya juga gitu kan."
Rian mendengus. Ini bukan kali pertama Fajar memakai barangnya tanpa ijin. Bukan hanya baju atau celana, kadang sepatu, sandal, selimut, bahkan parfum. Yang lebih menyebalkan, Fajar sama sekali tidak merasa bersalah meski barang yang ia pakai jadi rusak alias tidak bisa dipakai Rian lagi.
"Ngomong-ngomong lu ngapain disini? Gak pake jaket lagi."
"Gak apa-apa. Cuma cari angin aja."
"Terus besok lu beneran masuk angin terus gak latihan gitu," gerutu Fajar.
Rian tidak menggubris. Ia meluruskan pandangannya ke lapangan di depan mereka. Hanya ada sebuah gawang di sana, juga beberapa pohon yang tidak begitu tinggi. Di belakang pohon-pohon itu, berdiri tembok pembatas pelatnas dan terlihat atap rumah - rumah di sebelahnya.
"Lu kenapa?" tanya Fajar memelankan nada bicaranya. Tapi Rian masih bungkam. Ia menunduk, memainkan sandal jepitnya. Seperti biasa sangat sulit baginya untuk mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan atau pikirkan. Walaupun hal itu biasanya tidak berlaku di deoa Fajar, entah kenapa untuk kali ini ia tidak bisa.
"Jangan dipendam. Nanti sakit."
"Gue gak apa-apa, Jar. Cuma pengen santai disini aja."
Fajar menaikkan satu kakinya ke paha. Kedua tangannya berpegangan pada pinggir bangku lalu diam-diam jarinya bergerak meraih sesuatu di samping Rian. Ia tersenyum.
"Lu lagi kangen ayah lu?"
Rian menoleh cepat. Menemukan Fajar sudah memegang fotonya bersama ayahnya saat ia memenangkan kejuaraan bulutangkis antar sekolah. Ia pikir tadi ia sudah menyimpannya ke saku celana. Tapi sekarang foto itu sudah ada ditangan Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.