Dua hari berlalu pasca kejadian bodoh itu, Rian belum bicara juga dengan Fajar. Ia takut. Ia tidak punya nyali untuk mengetuk pintu kamar Fajar dan mengatakan maaf. Setiap kali ia hampir melakukannya, maka saat itu juga ia akan mundur dan pergi. Ia terlalu merasa bersalah sampai untuk bertatapan dengan Fajar pun ia tidak bisa.
Selama dua hari ini pula Fajar tak muncul di tempat latihan. Padahal Rian berharap Fajar akan terus melanjutkan aksinya menjadi suporter saat latihan berlangsung. Tapi hingga latihan sore ini selesai, Rian tak juga melihat batang hidung Fajar di pinggir lapangan. Kursi panjang itu tetap kosong.
Rian hanya sekali melihat Fajar. Itupun saat tanpa sengaja ia melintas di depan asrama dan melihatnya duduk di teras dengan keluarganya yang datang dari Bandung. Saat itu ia hanya tersenyum saat disapa oleh orang tua Fajar. Dan Fajar sama sekali tak menatapnya. Selain itu, ia belum melihat Fajar lagi.
Apa Fajar benar-benar marah padanya? Apakah perkataannya malam itu sudah menyakiti Fajar?
"Yaiyalah Jombang! Udah kata-kata lu kasar, lu juga pake acara bentak. Emang pernah Fajar bentak lu biarpun lu ngelakuin kesalahan ke dia?"
Perkataan Kevin membuat Rian semakin dilingkupi rasa bersalah. Dan bodohnya ia masih belum berani minta maaf juga.
"Lu inget kan pesan orang tua Fajar? Kita gak boleh bikin dia stres. Kita harus bikin suasana hatinya baik," tambah Wahyu yang membuat Rian tak bisa menyela lagi. Ia juga melupakan hal sepenting itu.
"Lusa kita udah berangkat buat All England. Baiknya emang masalah lu sama Fajar cepat selesai biar gak kepikiran pas tanding," imbuh Marcus.
Rian tertunduk lesu. "Sorry.."
"Ya minta maafnya sama Fajar lah. Sana ke kamarnya."
Rian berpikir sejenak. Mengumpulkan kepingan keberaniannya. Setelah menarik nafas panjang, ia pun berdiri meninggalkan teman-temannya di lapangan. Dengan menenteng tas raketnya, ia berjalan menyusuri lorong menuju pintu keluar. Namun, dari kejauhan ia melihat Fajar keluar dari ruang rapat staff PBSI.
Rian berhenti. Ia melihat Fajar berjalan ke arahnya sambil memainkan handphone. Ketika Fajar mengangkat wajahnya, Rian sudah akan menahan. Tapi...Fajar hanya menyapanya, tersenyum lantas pergi begitu saja.
"Hei..Jom."
Hanya seperti itu dan Fajar terus berjalan tanpa menoleh lagi. Rian lalu dibingungkan dengan melihat siapa saja yang keluar dari ruang rapat itu. Bukan hanya Fajar, ada sang pelatih kepala yang memang sejak siang tak terlihat di lapangan, lalu ada dua wartawan PBSI, kemudian ada staff keuangan, kepala bidang pembinaan, dan terakhir adalah wakil ketua umum PBSI. Ada apa ini?
Rian menghentikan langkah pelatihnya, coach Herry.
"Coach, maaf kalau saya lancang. Tapi...boleh saya tau ada apa?"
Coach Herry menatap Fajar yang terus berjalan dan lama kelamaan tak terlihat. Ia menghela nafas berat.
"Kita habis rapat. Fajar bilang dia mau pindah. Dia udah gak mau pakai fasilitas pelatnas lagi, dia juga mau nanggung dan ngurus semua pengobatannya sendiri. Dia gak mau PBSI bantu dia lagi."
Rian diam. Ia tidak menyangka bahwa jadinya akan seperti ini.
"Fajar juga minta supaya hari ini PBSI mengumumkan ke media kalau dia resmi gantung raket."
"Apa?"
Tidak! Rian tidak setuju. Oke ia tau sudah setahun lebih ini Fajar rehat dari kegiatannya dibulutangkis. Tapi gantung raket? Itu keputusan yang terlalu cepat!
Rian sudah akan pergi, tapi coach Herry menahan lengannya.
"Jangan sekarang, Jom. Biarin Fajar tenang dulu. Kami tadi udah berusaha bujuk dia buat pikir-pikir lagi. Tapi katanya keputusannya udah bulat. Jadi kita gak bisa berbuat apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.