Part 21

916 93 11
                                    

Sore ini pelatnas kedatangan para pemain yang pada awal tahun memutuskan pensiun. Ada Tontowi Ahmad, Hendra Setiawan dan Muhammad Ahsan. Mereka datang membawa anak-anak mereka. Katanya sih kangen suasana latihan. Anak-anak mereka juga kebetulan libur sekolah. Jadilah hari ini suasana lapangan jadi lebih ramai.

Si kembar, anak dari Hendra, bermain bersama Kevin. Mereka sudah bisa menyeberangkan shuttle cock meski lebih banyak jumlah gagalnya. Lalu Danish bermain dengan ayahnya sendiri, Tontowi serta Praveen Jordan. Sementara Chaira, anak dari Ahsan hanya berlarian kesana kemari, sesekali mengganggu yang sedang latihan.

Rian yang baru menyelesaikan latihannya bersama Reza langsung mendekati Chaira. Ia berjongkok di depan anak itu yang mendadak berhenti.

"Chaira gak mau main sama yang lain? Atau mau main sama om Rian?" tanya Rian. Ia gemas sendiri melihat wajah Chaira yang lucu. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, rambutnya panjang dan dahinya tertutupi poni tebal. Ia ingin mengusap kepalanya tapi Chaira menghindar.

Chaira pun menggeleng lucu. "Gak mau. Aku mau main sama kakak itu aja."

Ia menunjuk Jorji dan Ruselli yang melambaikan tangan padanya. Tanpa menghiraukan Rian, anak itu berlari dan memeluk Jorji. Mereka sepertinya sudah akrab. Rian jadi cemberut. Tadinya ia mau mengajak bocah itu main. Main apa saja. Tidak harus main bulutangkis. Tapi sepertinya ia belum berbakat untuk mendekati anak kecil.

"Jom...tuh.."

Koh Herry, alias pelatih kepala ganda putra, memberi isyarat menunjuk ke belakang Rian dengan dagunga. Rian menoleh. Ia tersenyum menemukan Rani sudah berdiri di pinggir lapangan. Masih dengan pakaian kerja dan tas penuh map ditangannya, Rani melambai.

"Udah sana samperin. Latihan udah selesai," ujar pelatihnya yang sepertinya pengertian sekali.

Rian tersenyum pada pelatihnya juga pada Reza yang sudah siap pergi dengan tas dan sepatu ditangannya. Rian lalu berlari kecil mendekati Rani. Saat sudah berjarak setengah meter, ia berhenti. Bingung. Kenapa Rani menjulurkan tangannya? Anehnya, ia juga memberikan tangannya. Dan ia mematung ketika Rani meraih tangannya, menunduk dan meletakkannya dikeningnya. Suara ledekan pun langsung terdengar dimana-mana.

"Cieeeeee...."

"Ahayyy Jombang."

"Gak usah kaget gitu Jom. Calon bini mau mau salim kok kaku gitu."

Rian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia masih tidak paham. Rani juga malah senyam senyum di depannya.

"Apaan sih tadi?" tanya Rian malu. Rani jadi tambah gemas. Rian seperti anak kecil. Dan juga...kenapa malah Rian yang malu? Padahal Rani perlu keberanian lebih untuk melakukan itu.

"Latihan aja, mas. Biar terbiasa nanti."

Rian tambah bengong. Bagaimana? Apa barusan Rani bilang?

"Kamu barusan panggil aku apa?" tanya Rian sekali lagi dengan wajah polosnya.

Rani menutup mulutnya menahan tawa. Ia sudah menebak bahwa reaksi ini yang akan ditunjukkan oleh Rian. Tapi melihatnya secara langsung ternyata lebih menyenangkan. Ia lalu menarik tangan Rian untuk diajaknya duduk di pinggir lapangan. Rian mengambil sobekan kardus minuman dan menggunakannya sebagai kipas.

"Jawab dulu. Tadi kamu panggil aku apa?"

"Mas Rian, hehe."

Rian senyum. Antara aneh dan senang. Antara geli tapi lucu.

"Aneh gak sih? Haha...aku cuma iseng aja. Sambil belajar juga biar gak kaku."

Rian menghadap ke depan. Masih sibuk mengipas tubuhnya yang berkeringat. Ia masih tak habis pikir kalau dalam hitungan bulan mereka akan resmi menjadi suami istri. Dan melihat bagaimana Rani berusaha belajar untuk menjadi istri yang baik, ia merasa sangat beruntung.

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang