Rian mengusap wajahnya. Ia tarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Sesekali ia harus menelan ludah begitu bertemu pandang dengan laki-laki bertubuh tegap di depannya. Ketika ia melihat sekeliling, ada wajah-wajah yang terus menyemangatinya. Tapi ada pula yang sedang puas tertawa. Bahkan suara cekikikan terdengar jelas di belakangnya. Dan ia hapal suara siapa itu.
"Sudah siap? Gak usah gugup. Bismillah."
Rian menunduk sejenak setelah mendengar perkataan ayah Rani. Ia jadi malu. Bisa-bisanya tadi ia salah menyebut nama pria itu. Bukannya Syahril Sudrajat malah jadi Aril Sudrajat. Habislah ia ditertawakan.
"Tenang, ya, mas," ujar Rani yang duduk di samping kirinya. Wanita itu tersenyum lembut sekali.
"Siap?"
Rian mengangguk. Ia menerima tangan sang penghulu dan bersiap mengucapkan lagi ijab qabul. Ketika tangan mereka menyatu, Rian merasa beku. Ia seperti disiram setumpuk air es yang membuat bibirnya tidak bisa terbuka.
"Saya nikahkan, saudara Muhammad Rian Ardianto bin Sarbini dengan saudari Rania Senjani binti Syahril Sudrajat dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta uang tunai sebesar dua puluh tiga ribu tujuh ratus dua puluh satu rupiah dibayar tunai."
"SAH!"
"Hahahahahaha"
"Astaga, Jom."
Rian menunduk malu. Tawa semua orang disekelilingnya pecah. Punggungnya didorong berkali-kali oleh temannya dari belakang yang bangkit dari kursi mereka. Ayah Rani geleng-geleng. Rani senyum. Tapi wajahnya nampak jelas menunjukkan kekhawatir.
"Mas...."
Suara Rani mengalihkan pikirannya. Mereka bertatapan. Dari bawah, ia merasakan tangan Rani mengusap lembut tangannya. Rani memberikan senyum penenang.
"Aku yakin kamu bisa."
Rian mengangguk. Ia menunduk sejenak dan menutup mata. Seketika suara tawa di sekitarnya berubah hening. Ia tidak mendengar apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Dan ketika ia membuka mata, ia melihat dirinya yang sedang bermain bulutangkis dengan ayahnya.
Mereka ada di halaman rumahnya di Jogja. Tidak begitu luas. Ada banyak bunga koleksi ibunya berjejer disegala sisi. Ada mobil ayahnya yang sering bolak balik bengkel parkir di garasi. Ada juga satu motor bebek yang baru dibeli. Meski begitu, ada cukup ruang untuk mendirikan net dan menjadi tempat latihan sore buat Rian dan ayahnya.
Ayahnya sekarang memakai kaos putih favoritnya dan celana olahraga. Rian senyum. Ayahnya nampak masih sama tampannya seperti terakhir kali mereka bersama. Pria itu bertubuh tinggi tegap. Kulitnya putih bersih dengan kumis tipis. Rambutnya hitam lebat.
Dengan penuh semangat, ayahnya mengajaknya bermain. Shuttle cock dipukul ayahnya ke segala arah. Rian kecil lari kesana kemari untuk mengejar. Beberapa kali ia berhasil mengembalikannya. Beberapa kali juga ia tidak bisa menggapainya. Terakhir, ia terjatuh. Lututnya luka. Sakit.
Rian kecil menangis. Ia pegang lututnya sambil meniup lukanya.
"Ayo, Jom. Bisa."
Ia mendongak, ada sebuah tangan yang terulur.
Fajar.
Ia menerimanya, berdiri dan diam saja saat kepalanya diusap. Tiba-tiba ia jadi lupa sakit di lututnya.
"Bisa, ya. Kan kuat. Kan jagoan. Gak boleh cengeng. Gak boleh nyerah. Coba lagi, yuk!"
Senyum Fajar menular cepat ke Rian. Ia mengangguk. Kemudian siap main lagi.
"Bismillah."
Rian membuka mata. Melihat mantap ke depan. Ia hembuskan nafasnya dan siap menerima tangan sang penghulu. Tubuhnya tegap. Tangannya lurus dan kuat. Rani yang duduk di sebelahnya merasa yakin bahwa Rian bisa menuntaskan tugasnya kali ini dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.