"Beneran jalan kaki?" tanya Hadiyat. "Mobil gue sama motornya Ibul nganggur. Kitanya juga nganggur." Ia mengarahkan dagunya ke kanan dimana motor dan mobil yang dimaksud terparkir.
Fajar hanya senyum tipis lalu menggeleng. Ia masukkan handphonenya ke saku jaketnya. "Gak. Gue udah lama juga gak olahraga."
"Olahraga itu pagi bahlul!" sembur Aldi, salah satu kasir di cafe miliknya. Ia turun dari lantai atas sambil memakai helm. Sepertinya ia juga akan pulang cepat.
"Nah itu Aldi juga mau pulang. Bareng dia aja."
"Udah dibilang gue lagi pengen jalan kaki. Kalian kenapa jadi kaya kakak gue gini sih? Dikit-dikit khawatir," sungut Fajar mulai kesal.
"Ya karena terakhir kali lu jalan kaki, lu ketabrak truk!"
Fajar diam. Kaget. Tapi kemudian ia membalas perkataan Hadiyat dengan santai. "Gue gak lupa. Karena kecelakaan itu yang bikin kaki gue pincang. Terus kenapa?"
Aldi tersenyum. Ia menggeleng pada Hadiyat lantas mulai menyalakan motornya. "Serah lu. Hati-hati ya. Gue pulang dulu. Bini gue udah nunggu."
Aldi melaju dengan motornya. Ibul pamit naik ke cafe lagi untuk melanjutkan tugasnya sebagai salah satu barista. Lalu Hadiyat juga nampak menyerah membujuk si keras kepala yang bernama Fajar Alfian itu.
"Mobil ada. Motor ada. Tapi serah lu sih. Gue naik dulu."
Fajar senyum senang. Ia biarkan Hadiyat naik lebih dulu barulah ia berbalik.
Jadi khusus malam ini ia memang sengaja tidak bawa kendaraan ke cafe miliknya. Entahlah. Tiba-tiba saja tadi ia memilih datang dengan jasa ojek online. Dan sekarang ia ingin pulang berjalan kaki. Ia rindu rutinitasnya dua tahun lalu ketika ia lari pagi dari rumahnya, melewati gedung sekolahnya sewaktu SMA, dan warung nasi uduk langganannya. Selama lari, ia biasanya akan beberapa kali berhenti untuk mengobrol dengan orang-orang sekitar. Ia hampir kenal dengan semua orang di daerah tempatnya tinggal. Bahkan ia hapal kebiasaan mereka dipagi hari. Ada yang rutin mencuci mobil, ada yang memberi makan ayam dan burung, ada yang membuka toko dan bersih-bersih, ada juga yang sibuk ngomel-ngomel sama anaknya yang tidak mau berangkat sekolah.
Fajar menghela nafas dan mulai melangkah. Sudah dua tahun ia meninggalkan rutinitas itu karena kecelakaan yang menimpanya. Setelah itu, selama hampir satu tahun ia pergi kemana-mana dengan jasa supir. Baru setahun belakangan ia bisa mengendarai mobil dan motornya sendiri. Dan inilah kali pertama ia berjalan kaki dari cafe menuju rumahnya yang memang tidak jauh itu pasca kecelakaan.
Jalannya pincang. Tapi ia sudah terbiasa. Sudah tidak sakit lagi seperti dulu. Sudah tidak perlu tongkat seperti beberapa bulan pertama. Jadi ia rasa kekhawatiran orang sekitarnya berlebihan. Lagi pula ini sudah malam. Kendaraan tidak seramai pagi atau sore hari. Daerah sini juga tidak terkenal angker ataupun jadi sarang penindak kriminal. Semuanya aman.
"Pulang cepet, Jar? Kok jalan kaki?" tanya seorang pria paruh baya yang baru akan menutup toko emasnya. Fajar memang biasa pulang dari cafe jam 10 malam. Sekarang baru jam 9.
Fajar berhenti sejenak. "Iya, Koh. Lagi pengen aja ini. Kangen."
"Hati-hati ya."
Fajar mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Selama perjalanan, ada beberapa angkot yang membunyikan klaksonnya. Begitu melewatinya, Fajar hanya senyum dan menggeleng. Ada juga tukang ojek yang menawarinya, tapi ia juga menolak.
Lalu tak lama, handphonenya bergetar. Ada pesan masuk.
Aku jemput ya
Fajar menghela nafas. Ini pasti ulah Hadiyat yang melapor. Ia pun membalas dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.