One Year Later (1)

775 78 11
                                    

Rian dan Reza berdiri kaku di depan pintu. Mereka diam. Tidak bicara satu sama lain. Reza yang sebenarnya memiliki banyak hal untuk disampaikan perlahan harus menelannya kembali karena melihat Rian yang sedang menahan marah.

Reza tak berani bersuara. Yang ia liat, Rian sedang mengepalkan tangannya dan memukul pelan dinding ruang kerja pelatihnya. Kevin yang baru dari lapangan berhenti di samping Reza.

"Kenapa?" bisik Kevin pada Reza. Reza mendekati telinga Kevin.

"Kita habis dikasih tau kalau kita juga bakal absen di Thailand nanti."

Kevin sedikit terkejut. "Bukannya minggu lalu di Australia kalian udah absen, kenapa gak turun lagi?"

Reza menggeleng. "Gak tau. Ini keputusan pelatih."

Kevin menggigit bibirnya sedikit. Ia bisa bayangkan kalau sekarang Rian sedang dalam mood yang buruk. Maka ia memberi isyarat pada Reza untuk pergi. Setelah itu, barulah ia mendekati Rian.

"Habis mandi kita keluar yuk, Jom. Nongkrong dicafenya Kenas asyik kayanya."

Rian tak menyahut. Kepalanya masih tertunduk. Satu tangannya meremas tali tas raket dengan keras. Kevin pun berusaha sekali lagi.

"Kita bedua aja. Gak sama yang lain kok," kata Kevin lagi berharap Rian tertarik. Mungkin dengan hanya pergi berdua, Rian mau bicara dan menumpahkan keresahannya. Tapi sepertinya ia gagal. Rian menegakkan tubuhnya, menarik tasnya dengan kasar dan berlalu tanpa suara dari hadapan Kevin.

Kevin tidak bisa mencegahnya. Ia tahu Rian butuh waktu untuk menenangkan diri. Rian perlu ruang untuk sendiri. Tapi..ia tetap saja khawatir. Takut kalau setibanya di rumah malah Rani yang jadi pelampiasan. Bukannya tanpa alasan, tapi suatu waktu ia pernah mendapati Rian membentak Rani karena hal sepele. Dan itu sangat menakuti Rani.

Rian memang sedang dalam masalah belakangan ini. Performanya di beberapa turnamen sangat buruk. Gelar terakhir yang ia raih adalah juara Indonesia Open Super 1000 tahun lalu. Setelah itu, ia dan Reza sempat beberapa kali masuk semifinal dan terhenti. Dan seterusnya hingga bulan lalu, prestasi terbaik mereka adalah mencapai babak 8 besar. Itu pun hanya dua kali.

Pelatih sudah mengevaluasi penampilan Rian dan Reza yang cenderung menurun. Dan karena bulan lalu secara berturut mereka kalah dibabak pertama, maka mereka tak diikutkan di turnamen Australia. Menurut pelatih, mereka harus rehat sejenak dan tidak meneruskan trend negatif itu. Oke, mereka setuju. Tapi barusan mereka dikabari bahwa mereka juga batal ikut turnamen di Thailand. Padahal status mereka adalah juara bertahan.

Sekarang Rian sedang melajukan mobilnya menuju rumah. Begitu tiba, ia hempas pintu mobilnya dengan keras dan masuk begitu saja tanpa salam. Setelah melempar sepatu dan kaos kakinya asal-asalan, ia menyandarkan tubuhnya di ruang tengah sambil memejamkan mata. Kepalanya pusing.

"Mas...baru pulang?"

Suara rani terdengar dari dapur. Dengan celemek ditubuhnya, ia tersenyum menyambut Rian dan dengan sabar memungut sepatu serta kaos kaki yang berserakan. Ia letakkan di dapur untuk dicuci besok. Kemudian ia kembali ke ruang tengah, duduk di sisi kanan Rian.

"Tumben jam segini baru pulang. Ada latihan tambahan?" tanya Rani. Tangannya baru terangkat untuk mengelus rambut suaminya, tapi pria itu mendadak menatapnya tajam.

"Emang kenapa kalo aku pulang telat? Gak boleh? Aku harus pulang jam 5 tiap hari gitu?"

Rian menurunkan tangannya, tersenyum lembut. "Gak, mas. Aku cuma nanya gak ada maksud-"

"Aku capek ya kamu atur-atur kaya gini. Masa cuma gara-gara pulang telat aja kamu bikin ribut."

Rani mengernyit."Siapa yang ribut? Aku cuma nanya. Nanya biasa aja loh. Basa basi. Ngobrol. Gak ada yang mau ribut."

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang