One Year Later (2)

891 95 7
                                    

Fajar itu batu. Seisi pelatnas sudah tahu. Dia kalau sudah mau sesuatu, tidak ada yang bisa melarang, siapapun itu. Seperti sekarang, ia berjalan memasuki gedung latihan. Teman-temannya yang melihat itu hanya menggeleng. Percuma juga kalau diingatkan, capek sendiri. Rian pun yang sudah tahu tabiat Fajar memilih tidak membahasnya. Ia membiarkan Fajar duduk di sebelahnya, menyandar ke tembok lalu meletakkan kepala dibahunya.

"Mau gue pijitin?" tanya Rian sambil berusaha melihat wajah Fajar. Tapi Fajar menunduk, menutup matanya. Ia hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Manja lu. Lu diledekin tuh sama anak-anak."

"Biarin. Gue mau merem bentar aja. Lu diem."

Rian nurut. Ia diam. Ia biarkan Fajar istirahat sejenak dan menggunakan bahunya sebagai bantal. Ia hanya senyum dan geleng-geleng ketika dari lapangan teman-temannya mengejek.

Fajar sebenarnya baru pulang dari rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Harusnya, setelah itu ia istirahat di kamar. Tapi seperti yang dilihat semua orang sekarang, ia malah ke lapangan, tidur di sisi Rian. Rian sih tidak masalah. Tapi tiba-tiba Fajar mengangkat kepalanya, memukul bahu Rian dengan handuk Rian.

"Bau banget lu! Gak nyenyak tidur gue."

"Yang nyuruh lu tidur sini siapa? Gue habis latihan ya bau keringat lah."

Rian mengambil handuknya, mengelap sekujur tubuhnya. Ia memang belum selesai membersihkan tubuhnya saat Fajar tiba-tiba datang.

"Gue anter ke kamar deh. Ayok."

Fajar menggeleng. Kembali menyandarkan punggungnya. "Males ah. Bosen gue di kamar kaya perawan yang dipingit."

Rian hampir tersedak minumannya. "Udah ayok ke kamar. Kan katanya habis kemo tuh lemes, mual, badan lu gak enak semua."

"Bawel lu. Ogah. Gue mau disini aja."

Rian menyerah. Ia memilih memakai kaosnya yang diambil dari dalam tas dan merapikan peralatan latihannya. Ia dan kawan-kawan memang sudah selesai latihan. Sebagian sudah kembali ke asrama dan sebagian lagi memilih isitrahat di tengah lapangan sambil mengobrol. Ada Rani juga. Ia sedang berbincang dengan Agnes, istri dari Marcus. Dan sekarang Rani sedang menggendong anak dari Marcus dan Agnes.

"Tuh Rani udah cocok gendong anak. Lu gak mau nyusul koh Sinyo?" tanya Fajar.

"Baru setahun, Jar. Umur gue juga baru berapa."

"Gak usah mikirin umur. Kalo udah nemu yang cocok, langsung gas aja. Ntar keburu Rani kecantol sama anak-anak yang lain baru tau rasa lu!"

Rian yang baru akan membuka handphonenya menatap Fajar cepat. "Emang ada anak yang naksir Rani?"

"Ada," jawab Fajar dengan meyakinkan. Tapi kemudian ia tersenyum. Membiarkan Rian yang wajahnya mulai keliatan panik.

"Siapa? Lu tau?"

"Ada deh. Pokoknya ada dan gue tau dia lagi berusaha deketin cewek lu. Makanya kalo lu gak gerak cepat ntar dia diambil. Mana ganteng banget lagi anaknya. Tipe Rani banget!"

Oke, Rian mulai terpengaruh. Ia mendekati Fajar. "Emang tipenya Rani yang kaya gimana?"

Tepat setelah itu, Rian melihat Kevin mendekati Rani. Duduk di samping Rani lalu ikut bermain dengan anak digendongan Rani.

"Maksud lu Kevin?"

Fajar menjitak kepala Rian. "Ngaco! Masa lu gak tau sih cowok paling ganteng disini? Anaknya supel, humoris, hitam manis, banyak yang suka. Fansnya paling banyak sepelatnas. Terus...aww.."

Fajar mengaduh setelah mendapat pukulan dibahunya. "Wedus lu!"

"Hahaha....makanya kalo gak mau cewek lu gue rebut, nikahin aja cepet."

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang