Hoekkk
Fajar memuntahkan isi perutnya. Bubur yang belum setengah jam lalu ia makan sudah keluar, disusul cairan bening yang membuat tenggorokannya semakin sakit. Ia berpegangan pada pinggiran wastafel untuk menahan suaranya agar tak menjerit. Kepalanya berdenyut.
Ia tidak mau mengganggu istirahat orang tuanya di kamar. Mereka pasti lelah. Ia juga tak mau menelpon teman-temannya yang pasti sedang istirahat karena latihan pagi tadi. Maka setelah nyerinya agak berkurang, ia segera berkumur, mengelap mulutnya dengan tisue lalu berjalan pelan keluar toilet. Tapi sulit. Baru satu langkah rasanya ia akan jatuh. Hingga tiba-tiba ada sepasang tangan yang menahan bahunya.
"Ran..."
Rani tersenyum lembut. Ia memapah Fajar kembali ke tempat tidur.
"Kok disini?"
Rani tak menjawab. Ia membantu Fajar duduk, menaikkan kedua kakinya ke tempat tidur lalu menaruh bantal di dinding agar Fajar bisa bersandar. Fajar menurutinya. Ia duduk bersandar dan membiarkan Rani menaikkan selimut hingga pinggangnya. Ia senang mendapat perlakuan seperti ini dari Rani.
"Lu belum jawab pertanyaan gue, " ujar Fajar yang masih penasaran. Karena belakangan Rani sibuk sekali dengan pekerjaannya. Rian sering mengeluh karena jarang punya waktu dengan Rani. Kalaupun Rani main ke pelatnas, biasanya di jam latihan sore, agar setelahnya ia dan Rian bisa jalan-jalan.
Tapi Rani masih mengabaikannya. Ia keluar lalu kembali membawa segelas air.
"Ini air hangat. Minum dulu. "
Fajar nurut. Ia minum sedikit saja karena perutnya masih terasa tidak nyaman. Ia bersandar lagi sambil mengatur nafasnya. Rani menyentuh dahinya.
"Panas, Jar. Gue kompres ya.."
Rani sudah akan berdiri, tapi Fajar sigap menahannya.
"Sini aja. Temenin gue. "
"Tapi badan lu panas. Gue-"
"Gue gak apa-apa, Ran. "
Rani menghembuskan nafasnya. Memang susah menghadapi Fajar yang selalu berusaha nampak baik-baik saja.
"Jawab pertanyaan gue tadi," suruh Fajar. Rani pun menjawab dengan malas, "Gue habis kabur dari kantor. Sumpek!"
"Kenapa? Ada masalah? " tanya Fajar lagi.
"Gak tau. Pokoknya gue lagi males banget sama orang-orang di kantor. Ngeselin. Bodo amat kalo habis ini gue ditegur lagi!"
Fajar senyum. Rani keliatan sedang dalam mood yang buruk. Tapi ekspresi kekesalan Rani justru membuat Fajar geli sendiri. Lucu.
"Lu kalo lagi kesel mending sana datengin Jombang. Paling juga dia gak istirahat malah main game di kamar. "
"Gak ah. Gue mau disini aja. Tapi feeling gue bener, kan? Coba tadi gue gak kesini, lu udah pingsan."
Rani duduk dipinggir tempat tidur. Ia menindih telapak tangan Fajar yang juga terasa hangat.
"Jar, ini bukan pertama kali. Lu sering banget gak manggil orang pas lu lagi sakit. Padahal disekitar lu ada puluhan orang bahkan ratusan. Tiap lu tidur, handphone lu selalu ditaruh di deket lu biar lu gampang hubungin siapapun pas nyokap bokap lu istirahat."
Fajar membalik tangannya lantas membalas sentuhan Rani dengan menggenggamnya. Seketika perasaan hangat menyelimutinya. Rasa pusingnya pelan-pelan hilang dan ia bisa melihat Rani dengan jelas. Tidak lagi berbayang seperti sebelumnya. Andai bisa, ia ingin setiap hari bisa menggenggam tangan itu. Bukan hanya ketika tidak ada siapa-siapa seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.