"Ada surprise gak?"
Fajar tersenyum kecut dan menjawab pelan sambil menggeleng, "gak ada."
Ia minum sebotol air mineral. Ia hanya tertawa mendengar jawaban Rian yang terus dicecar oleh pertanyaan konyol dari wartawan PBSI. Begitu sesi wawancara selesai, mereka berfoto bersama lantas ke ruang ganti.
Rian bergerak paling cepat mendahului Fajar. Ia mandi, ganti baju dan langsung sibuk dengan handphonenya.
"Iya. Alhamdulillah menang. Disana jam berapa Ran? Udah malem ya?"
Fajar mendengarnya dari sudut ruangan. Ia juga sudah mandi dan berganti pakaian. Dipakainya jaket tebal serta sarung tangan.
"Fajar? Ada nih."
Rian menengok kiri kanannya dan menemukan Fajar berjalan menuju pintu.
"Jar! Ada salam dari Rani. Selamat ulang tahun katanya."
Fajar terus berjalan. Ia hanya melambaikan tangannya dan tersenyum sebagai balasan. Ia butuh udara segar. Ia butuh mengatur nafasnya dan mungkin baiknya ia menyendiri saja. Maka disinilah ia. Dibangku VIP tepat di belakang lapangan 3 dimana wakil Indonesia sedang bertanding. Ia duduk tenang, merapatkan kedua tangannya untuk menahan dingin.
Ia tidak tahu berapa scorenya. Ia juga tidak tahu apakah temannya itu menang, kalah atau masih bermain hingga set ke tiga. Matanya tertuju kesana, tapi pikirannya kosong.
Ia lalu mengeluarkan handphone. Membuka aplikasi kamera dan memotret lapangan. Ia menguploadnya di twitter.
Dalam sekejab ratusan komentar berdatangan. Banyak yang terkejut karena ia kembali ke twitter, sedang yang lain mengucapkan selamat ulang tahun padanya serta selamat karena ia dan Rian masuk ke babak perempatfinal.
Fajar tersenyum kecil saat melihat postingan akun PBSI yang memperlihatkan potongan video wawancara tadi saat Rian diminta untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memeluknya. Rian terus berdalih dengan berbagai macam alasan saat ditanya apakah ada surprise seperti yang biasa dilakukan oleh Fajar atau tidak. Dan sebenarnya Fajar sama sekali tak mengharapkan itu. Ia tahu watak Rian. Ucapan selamat ulang tahun pun tidak akan diucapkan oleh Rian kalau tadi tidak diminta oleh kumpulan wartawan.
"Lu disini."
Fajar menoleh ke kanan. Rian datang, duduk di sampingnya. Senyum cerah masih tergambar diwajahnya.
"Tadi Rani pengen ngobrol sama lu tapi lu malah pergi," kata Rian sambil melipat kedua tangannya didepan dada.
"Gue mau liat bang Tommy main, tuh. Didampingin sama Koh Hendra sama bang Ahsan juga."
Rian mengikuti arah telunjuk Fajar dam melihat wakil tunggal putra Indonesia sedang bermain, sudah masuk set ke 3 dan sekarang unggul jauh.
"Habis ini lu mau balik ke hotel atau gimana?" tanya Rian.
"Ya ke hotel. Emang mau kemana?"
Rian menghadap Fajar. Ia nampak sangat bersemangat. "Temenin gue cari sesuatu buat Rani. Lu kan temennya. Lu tau kan kira-kira yang disuka Rani yang gimana?"
Fajar menahan nyeri didadanya. Ia memasukkan handphonenya lantas tersenyum.
"Tau. Ya udah kelar ini kita keluar. Ajakin bang Owi dia kan hapal daerah sini. Ntar gue bantuin cari barang yang cocok buat Rani."
Rian tersenyum. Ia senang karena makin hari hubungannya dengan Rani semakin dekat. Dan itu semua berkat Fajar. Kalau bukan karena Fajar, Rani mungkin masih dingin padanya. Dulu, Rani hanya mau membalas chatnya, kalau ditelpon tidak diangkat. Diajak pergi selalu menolak dengan banyak alasan. Tapi belakangan, tepatnya setelah Fajar campur tangan, pelan-pelan Rani berubah lunak. Sesekali Rani mau mengangkat teleponnya. Mereka juga sudah dua kali jalan bersama. Terakhir bahkan berjalan dengan sangat menyenangkan dimana Rian bisa berkenalan dengan orang tua Rani.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.