Gema Asian Games di Jakarta – Palembang masih terasa meski pelaksanaannya sudah selesai minggu lalu. Fajar dan Rian pun masih tak percaya akan pencapaian mereka. Tak begitu diunggulkan, mereka bisa sampai ke final setelah mengalahkan lawan-lawan tangguh bahkan nyaris mendapat medali emas. Meski hanya mendapat perak, mereka sudah sangat bangga.
Popuplaritas mereka pun meroket pasca pertandingan itu. Para penggemar bulutangkis yang sebelumnya tak begitu memperhatikan mereka berubah menjadi fans. Jumlah followers sosial media meningkat tajam, jumlah tawaran untuk mengisi acara televisi pun berdatangan. Tapi mereka tak mau jumawa. Mereka mengontrol diri sebisa mungkin untuk selektif memilih tawaran yang masuk. Lagipula dua minggu setelah Asian Games mereka harus melanjutkan turnamen di kawasan Asia, tidak mungkin mereka malah sibuk wara wiri di televisi. Tapi untuk satu tawaran iklan minuman terkenal, mereka tak bisa menolak. Nilai kontraknya lumayan, bahkan mereka mendapat bonus untuk menaikkan haji kedua orang tua mereka.
Dan proyek iklan itulah yang mempertemukan Fajar dan Rani kembali setelah bertahun-tahun terpisah. Rani merupakan salah satu staff marketing di perusahaan yang memakai Fajar dan Rian sebagai model iklannya.
"Ini lu, Ran?" tanya Fajar saat mereka pertama bertemu. Saat itu mereka baru akan melaksanakan syuting.
"iya, ini gue. Udah jadi atlet terkenal gak lupa kan sama gue?"
Fajar dan Rani berpelukan singkat saat Rian datang dengan wajah bingungnya.
"Siapa, Jar?" tanya Rian.
"Kenalin, Jom. Dia Rani, temen sekolah gue. Gak nyangka euy bisa ketemu disini."
Setelahnya Rani dan Rian berkenalan. Rani juga menjelaskan bahwa ialah sebenarnya yang paling aktif menyerukan ide agar perusahaannya memakai jasa Fajar dan Rian saja. Dan untungnya ide itu diterima oleh yang lain.
Dan disitulah semuanya berawal. Hubungan Fajar dan Rani semakin dekat. Selain rutin berkirim kabar, sesekali mereka juga pergi bersama untuk nonton, makan atau sekedar jalan-jalan di mall. Jika biasanya Fajar akan mengupdate sosial media seputar kegiatannya, khusus saat bersama Rani ia tak melakukan itu. Ia juga tak pernah cerita pada Rian soal kedekatakannya dengan Rani. Ia berencana mengatakannya setelah hubungan mereka resmi.
Fajar pun semakin yakin untuk mengungkapkan perasaannya. Ia juga merasa Rani tak menolak semua perlakuan baiknya. Rani juga berstatus single, tidak ada pula laki-laki yang sedang melakukan pendekatan. Jadi Fajar merasa jalannya akan mulus. Ditambah dengan statusnya sekarang, Fajar merasa cukup pantas untuk menjadi pendamping Rani.
Semua rencana indah itu berubah tepat sebelum Fajar berangkat ke tempat dimana ia akan menyatakan perasaannya. Ia baru akan membuka pintu saat Rian tiba-tiba masuk ke kamarnya.
"Mau kemana lu?" tanya Rian.
"Mau keluar aja cari angin. Kenapa muka lu kusut gitu?"
Fajar mengurungkan niatnya keluar. Ia ingin mendengarkan Rian dulu yang kini sudah merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Kevin lagi nyebelin," keluh Rian seperti anak kecil. Fajar tersenyum melihatnya.
"Nyebelin kenapa?"
"Lupain aja. Males bahasnya. Btw...lu mau pergi sama siapa?" tanya Rian lagi.
Fajar berpikir. Kalau ia berbohong dan bilang pergi sendiri, ia takut nanti Rian ingin ikut. Jadi ia jujur saja. "Sebenernya...gue pengen makan, sih sama Rani."
Rian menatap Fajar penasaran. "Kalian ada hubungan ya?"
Fajar buru-buru menggeleng. "Gak ada, Jom. Gue sama Rani cuma temen. Dan ini cuma makan-makan biasa buat ngerayain kenaikan jabatan Rani di kantor. Sama temen-temennya juga."
Rian mengangguk. Fajar lalu melirik jam dinding dan merasa bahwa ia harus segera pergi. Ia pun berdiri, bersiap pamit. Tapi kemudian Rian bersuara.
"Rani udah punya pacar belum, sih?" tanya Rian tiba-tiba.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Fajar merasa ada petir yang menyambarnya.
"G...gak ada, sih, setau gue. Kenapa, Jom?" tanya Fajar dengan harapan bahwa Rian tak akan mengatakan apa yang ia takutkan.
"Gue kayanya suka sama dia. Dari awal ketemu gue udah tertarik."
Fajar terdiam. Ia tak bisa merespon apapun perkataan Rian selanjutnya. Ia hanya bisa mendengar bagaimana Rian menyanjung sifat baik Rani, bagaimana Rian memuji kecantikan Rani, dan masih banyak lagi.
"Tapi kayanya dia gak ada rasa sama gue. Gue chat dibalas, sih. Tapi kalau gue ajak jalan dia selalu nolak dengan berbagai alasan. Lu kan temen deketnya, lu tau siapa cowok yang lagi deketin dia? Apa mungkin karena dia lagi deket sama cowok lain jadi dia gak mau deket sama gue? Gue pusing sendiri mikirinnya. Kayanya gak pernah gue stres begini karena cewek."
Ini bukan Rian Ardianto. Temannya tidak pernah curhat panjang lebar seperti ini. Artinya, temannya serius dengan perkataannya.
"Jar! Woi gue ngomong dari tadi lu denger, gak?"
"Oh...iya iya, gue denger kok."
"Jadi gimana? Apa Rani punya gebetan?" tanya Rian lagi dengan wajah penuh harap. Fajar pun takkan tega menghancurkan harapan itu. Maka dengan senyum cerahnya, Fajar bangkit dari tempat tidur lalu menepuk pundak Rian.
"Rani single dan gak ada cowok yang lagi deketin dia. Kalau lu serius sama dia, gue bisa bantu buat deketin kalian."
Dan setelah itu, Fajar memutuskan untuk mengubur perasaannya dalam-dalam.
***
***
"Hahahaha....."
Fajar terbangun dari tidurnya. Ia baru saja bermimpi tentang ia dan Rian saat masih aktif di lapangan. Ia terbangun karena mendengar suara tawa dari ruang tengah. Sepertinya teman-temannya sedang berkumpul.
Ia memang sudah keluar dari rumah sakit kemarin. Sekarang ia kembali ke asrama bersama orang tuanya yang kini memang tinggal bersamanya.
Fajar melihat sekeliling kamar, tidak ada siapa-siapa. Orang tuanya mungkin juga sedang istirahat karena belakangan mereka sering begadang menemaninya yang suka mengalami serangan tengah malam.
"Hahaha...."
"Ssstttt lu ribut banget, sih. Fajar lagi tidur."
Fajar masih mendengar suara tawa dari luar. Ia penasaran ingin bergabung. Mana betah ia sendirian begini lama-lama. Tapi ia bingung. Belakangan kondisinya memang semakin buruk. Ia bisa berjalan, tapi beberapa langkah saja rasanya seperti habis bermain bulutangkis 3 game. Sangat melelahkan. Makanya ia lebih sering menggunakan kursi roda.
Tapi kali ini Fajar malas menggunakannya. Maka perlahan-lahan ia bangkit dari tempat tidur lalu berjalan keluar kamar. Namun, ia menyesali keputusannya karena ia langsung disuguhi pemandangan tak mengenakkan.
Ia melihat Rian duduk bersebelahan dengan Rani. Rian merangkul Rani dan mereka nampak tertawa. Sepertinya obrolannya seru sekali. Sesekali Rian mengusap rambut Rani.
Fajar tersenyum mengingat kejadian minggu lalu ketika ia mengungkapkan perasaannya pada Rani. Dan ia terkejut mendengar fakta bahwa Rani merasakan hal yang sama. Mereka memendam rasa selama bertahun-tahun dan baru terungkap minggu lalu. Tak ada kata-kata setelah itu. Ia dan Rani juga tak berkomunikasi lagi setelahnya. Inilah pertama kali ia melihat Rani setelah hari itu. Rasanya kaku.
Selama dua tahun melihat Rian dan Rani bersama, Fajar bisa melaluinya dengan baik. Bahkan Rian menyatakan perasaannya pada Rani juga di depan mata kepalanya. Ia kuat. Tapi kenapa setelah pengakuan itu ia merasa tak tahan melihat pemandangan di depannya sekarang? Apa sebaiknya ia kembali ke kamar saja?
.
.
.
Alur ceritanya emang maju mundur yaa..
Ada beberapa flashback.
.
Jangan lupa vote dan commentnyaaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.