Fajar mendesis pelan. Tangan kanannya memegang pinggang belakangnya sementara tangan kiri meremas sprei tempat tidur. Matanya terpejam saat rasa nyeri itu bertambah.
"Fajar....kamu udah bangun?"
Itu suara ibunya yang terdengar dari luar.
Tapi ia tak bisa menyahut.Ia sebenarnya baru bangun tidur. Ia duduk bersandar dan akan mengambil handphonenya di atas meja saat tiba-tiba pinggangnya terasa sakit.
"Kalo Fajarnya lagi tidur....ja...."
Terdengar suara seseorang. Tidak jelas. Samar. Tapi itu bukan suara ibunya, bukan juga ayahnya. Ayahnya sedang ke Bandung untuk mengurusi pekerjaannya yang beberapa bulan ini terbengkalai. Lalu itu siapa? Fajar tak bisa mengenalinya.
"Harusnya udah bangun, kok."
Ia mendengar suara derap langkah yang makin dekat. Pintu kamarnya terbuka dan ia mendengar suara kepanikan dari ibunya.
"Aa'..pinggang kamu sakit lagi?"
Fajar tak menyahut. Sakitnya sudah berkurang. Ia hanya masih berusaha menetralkan nafasnya. Matanya lalu terbuka dan ia menemukan ada beberapa orang yang berdiri di sekelilingnya. Mereka memandangnya khawatir. Pandangan yang paling dibencinya.
"Udah gak, bu. Tadi aja nyeri sedikit," jawabnya sambil memberi isyarat bahwa ia haus. Ginting bergerak cepat dengan mengambil segelas air putih. Fajar meminumnya pelan kemudian bersandar lagi.
"Pinggang lu sering sakit, Jar?" tanya Rian yang duduk di sisi kiri Fajar.
Fajar tersenyum lebar. "Kadang-kadang. Gak pinggang aja sih. Semuanya. Kaya ditusuk-tusuk jarum gitu. Tapi udah biasa kok."
Rian menghela nafas. "Ya udah lu istirahat aja. Lain kali aja kita keluar."
Fajar mengerutkan kening. "Keluar?"
"Lu gak buka wa? Tadi gue bilang kita mau kesini, ngajak lu makan-makan di luar," kata Ginting.
Fajar mengangguk semangat. "Hayuk hayuk!! Gue mau! Sekarang, kan?"
Rian menggeleng. "Ngawur. Udah lu istirahat aja di sini kita temenin."
"Gak. Gak. Gue bosen di rumah terus. Udah hayuk kita keluar."
Tanpa persetujuan dari yang lain, Fajar sudah menurunkan kakinya. Dengan berpegangan pada Ginting, ia berdiri pelan-pelan. Sesekali ia meringis tapi langkahnya tak ada yang bisa menahan. Siapa yang bisa membuat Fajar berhenti kalau dia sudah berkeinginan?
"Jadi...kita mau kemana? ke tempat sate langganan kita? Kangen euy dah lama gak kesana."
Fajar nampak berusaha membangun suasana ceria saat semua sudah duduk di ruang tengah. Tapi belum berhasil. Teman-temannya masih diam. Dan setelah diperhatikan, ternyata ada Kevin, Ade, Wahyu, Hardi, Abey, Apri, terus....
"Lu siapa?" tanya Fajar pada Ginting.
Ginting diam. Ia dan kawan-kawannya saling pandang. Ini Fajar bercanda atau serius?
"Itu Ginting, Jar," kata Hardi.
Fajar memandang Ginting dengan serius. Wajahnya nampak berpikir keras. Yang lain sudah merasa ada yang tak beres.
"Gue Ginting, Jar. Temen lu. Jangan bercanda deh."
Fajar tersenyum. Ginting sudah merasa lega. Tapi pertanyaan Fajar meruntuhkan kelegaan itu.
"Ini lu ting? Kok lu disini? Lu kenal temen-temen gue?"
Ibu Fajar yang sejak tadi diam akhirnya berjalan mendekat. Ia duduk di samping Fajar lantas mengusap bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
FanfictionFajar Alfian harus mundur dari dunia bulutangkis karena penyakitnya. Ia berharap, disisa waktunya ia bisa melakukan sesuatu untuk orang terdekatnya, termasuk dengan menyatukan kedua temannya.