1. Laras dan Bayu

4.9K 211 14
                                    

Laras melirik jamnya lagi. Sudah lewat 50 menit dari janji. Dia harus buru-buru ke rumahsakit. Jam praktik akan dimulai 10 menit lagi. Perjalanan dari kafe ke poli kandungan sekitar 5 menit. Itu dengan berjalan cepat dan dia tak suka berkeringat sebelum memeriksa pasien.

Jalanan di depan kafe agak sepi sore ini. Sesuatu yang aneh, mengingat ini sudah masuk waktu pulang kerja. Biasanya malah agak tersendat karena volume kendaraan yang meningkat tiba-tiba.

Piring di depan Laras sudah kosong. Dua potong sandwich telah tuntas beralih ke perut. Jarum panjang di jam tangan kini beralih lima titik dari tadi. "Sialan!" gumamnya menahan kesal. "Kalo bukan Ibuk yang minta, mending ga usah ketemu aja sama cowok kaya gini. Ngga menghargai waktu banget!"

Suara Ibuk bertalu-talu lagi di ruang dengarnya, "Ketemu dulu aja, tho." Aksen jawa beliau yang medhok dipadukan dengan nada lembut seorang ibu membuat Laras tak berkutik. 

Meski hampir menyerah, gadis itu masih juga berkilah, "Tapi aku kan ngga pengen nikah, Bu. Aku masih belum cukup nyenengin Ibuk." 

"Wis, tho. Gini aja Ibuk udah seneng, kok. Sekarang waktunya kamu mikirin diri sendiri. Ngga usah mikirin Ibuk lagi. Ibuk udah seneng kok di sini. Lagian ini yang minta Bu Ratna, lho. Apa kamu lupa, siapa yang nyekolahin kamu dulu? Kalo Ibuk sendiri, ya mana sanggup nyekolahin anak sampek jadi dokter?"

Haduh. Gini, deh kalo udah ngomongin hutang budi. Ngga ada habisnya. Apa pun yang dilakukan ngga bakal cukup buat ngebales.

Bu Ratna adalah majikan terakhir Ibuk. Dia menyayangi Laras seperti anak sendiri. Tiap kali main ke rumah besar itu, beliau pasti memberi sesuatu. Entah permen atau kue, kadang juga hadiah kecil kalau Bu Ratna baru pulang pelesir ke luar negeri.

Mungkin karena ibu itu sudah diangkat rahimnya sebelum sempat melahirkan anak perempuan. Kasih sayang dan kerinduannya pun ditumpahkan semua pada Laras. Hanya Laras. Agus, kakak lelakinya kadang mencibir karena iri. Namun dia juga tak terlalu peduli. Bagaimana pun, dia juga kecipratan enaknya karena Laras jadi kesayangan Bu Ratna.

Saat dicurhati sang adik, Agus terbahak. "Nah, ini dia yang udah ditunggu, tho? Emang kamu udah di-tek dari dulu, kok," katanya santai di sela tawa.

"Ih, Mas. Kamu kan temenan sama Mas Bayu itu. Mbok bilangin dia buat nolak, tho. Aku kan ngga bisa nolak ibuk," bujuk Laras setelah tak berhasil merajuk pada ibuk.

Tawa Agus malah makin keras. "Apalagi Bayu," ujarnya santai, "mana bisa dia ngelawan ibunya sekarang. Gara-gara kena kanker itu, tho. Bayu jadi manutan banget sama ibunya."

"Kok kamu tahu, tho Mas?"

"Lha, aku baru aja dicurhatin sebelum kamu telepon." Agus terbahak lagi. "Dia juga ngga mau dijodohin kaya gini. Dia nyuruh aku buat bujuk kamu biar nolak. Lah, sekarang aku musti gimana coba?" Tawanya kini terdengar miris.

Dering telepon melemparkan Laras keluar dari lamunan. Di layar tertulis IGD, nomor telepon dari Instalasi Gawat Darurat. "Sore, Dok. Udah nyampe mana?" suara seseorang menyambut Laras, mungkin perawat jaga di IGD.

"Sore. Udah di samping rumahsakit. Ada apa?" Laras segera beranjak dari mejanya. Terlambat hampir sejam itu namanya ngga niat dateng! Dia menggerutu dalam hati seraya meninggalkan kafe dalam langkah lebar-lebar.

***

Bayu mendengus kesal. Peta online di ponselnya menunjukkan jarak yang hanya tinggal beberapa meter lagi dari kafe yang dituju. Tapi jalan di hadapan tiba-tiba saja berwarna merah. Mobil pun bergerak makin lambat hingga akhirnya berhenti. Dia berada di tengah kemacetan sekarang. Jalanan di depan merah, sama warnanya dengan jalanan di belakang. Ini dia yang disebut terjebak

Lelaki itu menghempaskan kepala ke sandaran.  "On time, yah. Aku ngga mau telat nyampe poli," suara Laras terngiang lagi. Bayu melirik jam tangannya. 5 menit sebelum pukul 3. Andai tak ada acara macet ini, dia pasti akan tiba tepat waktu. 

Tak ada pergerakan apa pun selama setengah jam. Informasi di peta online menyebutkan bahwa kemacetan ini disebabkan kecelakaan. Salah satu situs berita online bahkan sudah mengangkat ceritanya. Sebuah bus bertabrakan dengan truk. Tidak disebutkan berapa jumlah korban jiwa atau luka. Hanya dijelaskan bahwa korban kecelakaan akan dibawa ke rumahsakit terdekat.

Aha! Rumahsakit terdekat! 

Sebuah ide gila tiba-tiba saja terlintas di benaknya. Ini cara paling mudah ke rumahsakit. Kafe itu ada di samping rumahsakit. Asal bisa sampai di rumahsakit, dia akan dengan mudah mencapai kafe tempat janji bertemu dengan Laras.

Setengah berlari Bayu menuju tempat kecelakaan. Beberapa orang tampak berada di sana menolong korban yang terhimpit besi-besi bus. Seorang perempuan tampak terduduk di pinggir jalan. Sepertinya dia telah berhasil dikeluarkan dari kekacauan di dalam bus.

Perempuan itu sedang hamil besar, mengingatkan Bayu pada Marini yang telah pergi. "Gimana, Bu? Perutnya sakit?" 

Perempuan itu tak menjawab. Hanya mengangguk lemas lalu jatuh terkapar. Saat itulah suara sirene terdengar mendekat. Tanpa pikir panjang, Bayu mengangkat perempuan itu menuju ke sana. "Pak, tolong Pak!" serunya pada lelaki berseragam yang keluar dari ambulans.

Petugas itu bergerak cepat. Begitu pula Bayu. Dia bersegera masuk ambulans. Rencananya berjalan lancar. Setidaknya sejauh ini. Dikirimnya pesan pada Laras, "Sorry telat. Otw RS."

IGD terlihat sangat ramai. Sirene ambulans silih berganti datang. Jam digital di dinding menunjukkan pukul 16.00. Bayu membuka pesan yang tadi dikirim dalam perjalanan. Laras belum membacanya. Mungkin dia pun ikut sibuk di IGD karena ada pasien hamil tadi.

"Pak," seorang perawat memanggilnya, "Bapak suami Ibu yang tadi, kan?"

"Oh, bukan. Saya cuma kebetulan lewat aja," Bayu mengelak.

"Trus suaminya mana?"

Mana saya tahu, Mbak! Tapi itu hanya terucap dalam hati. Wajah si perawat yang panik membuatnya tak tega dan memutuskan untuk mengangkat bahu saja.

"Haduh! Gimana, nih?" Wajah bingung perawat itu membuat Bayu jatuh kasihan. "Coba periksa tas ibu itu," katanya pada perawat di meja.

"Tas yang mana, Teh?" si perawat yang diperintah malah terlihat lebih bingung.

"Ibu yang hamil tadi ngga bawa tas?"

Perawat di balik meja itu menggeleng.

Sekarang si perawat yang membawa berkas untuk ditandatangani itu menepuk kening sendiri. "Hadeh!" 

"Eh, Mbak. Sini, saya yang tanda tangan." Bayu menawarkan bantuan. "Tanda tangan apa?" tanyanya kalem.

Perawat itu tampak terkejut. "Beneran, Pak?" dia mengkonfirmasi.

Bayu tersenyum tipis. Perempuan itu mengingatkannya pada Marini yang telah pergi. Andai ketika itu ada orang yang bersedia memberikan tanda tangan, mungkin istrinya masih bisa ditolong. 

"Nanti kalo ada apa-apa, Bapak yang tanggungjawab, loh."

"Iya, yang penting ibunya cepet ditolong." Bayu memberikan tanda tangan dengan tenang. Lagipula, maminya pernah bilang, menolong orang jangan setengah-setengah. Siapa tahu, dengan begini Allah mau menurunkan keajaiban pada Mami. Siapa tahu. Yah, siapa tahu. 

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang