"Jadi sekarang kamu paham, kan, kenapa aku ngga bisa nolak?" Bayu merasa menang.
Namun kata-kata Bayu malah membuat Laras kesal. "Kalo kamu aja ngga bisa nolak, lalu kenapa malah nyuruh aku yang nolak?"
"Kamu, kan ngga punya hubungan apa-apa sama Mami. Mami kan cuma mempekerjakan ibumu. Itu aja. Harusnya kamu bisa lebih tega karena ngga ada rasa apa pun antara kalian."
Laras tak percaya Bayu bisa senaif itu. "Ngga punya hubungan apa-apa, katamu? Apa kamu bener-bener berpikir bahwa gaji pembantu kayak Ibuk cukup buat menghidupi tiga orang plus membiayai kuliah sampai jadi spesialis?"
Mata Bayu membulat. Kepalanya berusaha mencerna informasi yang baru saja masuk.
"Dan kamu pikir kenapa karirnya Mas Agus bisa lancar jaya kayak gitu?" Laras menahan diri agar tidak meledakkan kekesalan di tenda bubur ayam ini. "Bahkan kalau pun Bu Ratna meminta lebih dari itu, sebenarnya beliau berhak, kukira," lirih suaranya menahan getir.
Bayu mengembuskan napas pasrah. Jadi ini yang terjadi. Mami sudah mempersiapkan semua sejak awal. Itu sebabnya beliau diam ketika diperkenalkan pada Marini. Tidak menolak dengan gamblang tapi juga tidak mengiyakan. Itu sebabnya selalu Laras yang disebut, menimbulkan kecemburuan yang tak perlu. Marini sendiri heran kenapa dia harus cemburu. Namun rasa tak pernah bohong. Hati yang peka bisa memahami tanpa perlu diberitahu.
Mangkok dan sendok disusun Laras ke tengah meja. Orang-orang sudah banyak mengantri di luar tenda. Gadis itu berdiri untuk membayar pesanan sembari menyilakan seorang ibu yang sedang berdiri untuk duduk.
Bayu menyodorkan selembar kertas warna biru pada si tukang bubur. "Ini aja," katanya cepat.
Laras mendelik. "Kita bayar sendiri-sendiri!" tukasnya, "aku ngga mau hutang budi lagi."
Si tukang bubur bingung melihat dua orang ini. Di matanya, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Tapi dia memutuskan mengambil uang yang disodorkan Bayu. Menurutnya, ini pasti bisa membantu menyelesaikan pertengkaran dua orang itu.
Dengan langkah menghentak, Laras keluar dari tenda. Buru-buru dirogohnya ponsel di saku parka. Dia ingin sesegera mungkin pergi dari sini. Makin lama bicara dengan lelaki tak punya perasaan itu bisa membuat mood berantakan.
"Maaf." Beberapa detik kemudian Bayu sudah ada di sisi Laras. "Aku bener-bener ngga tahu. Mami sama sekali ngga pernah cerita."
"Kalau dia cerita malah bakal tambah parah," sinis Laras membalas tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel. Menyebut-nyebut kebaikan sama saja dengan meminta imbalan. Itu malah akan memperberat urusan balas budi.
Bayu diam. Tak berani berkata-kata. Bukan karena takut. Tapi ini di tepi jalan raya. Dia khawatir jika membalas maka akan terjadi perang saudara. Tentu tak elok dilihat di tepi jalan raya begini.
"Hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati," lanjut Laras, "kalau hutang emas dan budi sekaligus, bagaimana membayarnya?"
"Mungkin kita harus tanyakan pada dokter Budi," Bayu berusaha menetralkan suasana dengan canda.
Sayang, tak berhasil buat Laras. Dia hanya mengulas segaris senyum sinis. Ini sama sekali tidak lucu! "Driver-nya udah mau nyampe," kata Laras setelah melirik ponsel sekilas.
"Oke. Nanti aku telepon lagi buat ngobrolin soal nikahan ini."
"Ngga usah!" potong Laras, "aku manut aja. Kamu aja yang obrolin sama Bu Ratna atau Ibuk. Kalo udah fix, kabarin aja aku tanggalnya, biar aku bisa ngatur schedule."
***
Menjelang jam makan siang, Laras ingin sekali tidur. Bolak-balik Jakarta gara-gara urusan pernikahan plus SC dan histerektomi berturut-turut telah membuat lelah jiwa raga. Tapi baru saja dia merebahkan tubuh di atas bed, tiba-tiba ponsel di saku bergetar. Nama Bayu tertulis di layar yang berpendar.
Malas. Dia hanya ingin tidur sekarang. Tak mau direpotkan lagi dengan urusan nikahan atau apa pun.
Ponsel itu bergetar lagi. Tanpa membuka mata, Laras mematikannya lalu sepenuh hati berusaha tidur.
Suara ketukan di pintu membangunkan dokter yang kelelahan itu. "Maaf, Dok," Laras mendengar suara seorang perawat antara bangun dan tidur. "Ada telepon dari Pak Bayu."
Mendengar kata Bayu, Laras memutar badannya dan kembali memeluk bantal.
"Maaf, Dok," perawat itu berkata lagi, "katanya penting."
"Bilang aja nanti saya telepon balik," Laras menjawab hampir seperti igauan.
Apaan, sih, yang penting? Pikirnya malas. Namun tiba-tiba sesuatu merasuk dalam benaknya. Apa terjadi sesuatu sama Bu Ratna?
Laras mengucek mata dan segera menyalakan ponsel. Pesan dari Bayu berderet masuk begitu perangkat terhubung dengan internet.
"Hai, inget bayi yang kamu lahirin kemarin? Hari ini dia udah bisa pulang."
Laras mengernyit, kapan hamilnya, kemarin udah lahiran aja?
"Tapi aku harus nyelesein administrasinya ke sana."
"Udah jelas aku ngga bisa, operasi Mami belom kelar."
"Boleh minta tolong?"
"Tolong urus administrasinya. Uangnya nanti aku transfer. Kirimin aku nomor rekeningmu."
Laras mengembuskan napas. Dilemparnya ponsel dan kembali tidur.
Getaran ponsel di tangan mengembalikan Laras ke ambang sadar. Refleks dia mengusap layar untuk menerima panggilan, "Halo," sapanya lebih dulu.
"Hai, WA-ku cuman dibaca doang. Kirimin nomor rekeningmu."
"Haduuuh, katanya bukan bapaknya, kenapa malah jadi yang repot banget, sih," Laras menjawab sembari memijit kening. Kesal sekali tidurnya terganggu gara-gara masalah yang bukan urusannya.
"Katanya sampe sekarang blom ada yang ngaku kalo itu anaknya. Kamu tega ngebiarin bayi terlantar gitu."
"Trus mau diapain? Kamu mau ngerawat bayi merah gitu?" Laras memandang langit-langit, masih berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya utuh.
"Daripada jadi bayi terlantar." Bayu tak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang begitu tega membiarkan bayi yang tak berdosa terlantar begitu saja.
"Kan bisa dikasih ke panti asuhan. Nanti kamu yang biayain panti asuhannya. Mending gitu, kan? Malah jadi lebih banyak bayi yang bisa kamu tolong."
Bayu terdiam. Pemikiran Laras ada benarnya. Lagipula, dia tak mungkin mengurusi seorang bayi saat ini. Andai ada Marini, mungkin situasi akan lebih mudah. Dia sangat menginginkan anak. Hidupnya seolah hampa tanpa ada anak yang lahir dari rahimnya.
Tapi kini tak ada Marini. Bagaimana mungkin Bayu sanggup mengurus bayi seorang diri. "Tapi, kan tetep aja harus ditebus dulu biaya rumahsakitnya."
Ah, dasar Bayu. Anak ini terlalu baik! "Kalo kamu ngga nebus, bayi itu bakal otomatis diserahin ke panti asuhan. Ngga usah lebay, deh."
"Oya? Panti asuhan mana? Aku ngga mau dia malah ditelantarkan di panti asuhan. Aku mau bayi itu diasuh beneran di panti asuhan. Katanya banyak panti asuhan yang ngurusin anak seadanya aja."
"Ih, lebay banget, sih! Kalo serius mau ngurusin adopsi aja itu anak." Kekesalan Laras makin menjadi.
Sebuah ide muncul di benak Bayu. "Iyes! Ide bagus! Kita adopsi aja anaknya!"
"Kita? Kamu aja kali!"
"Tapi buat adopsi, kan, wajib ada ayah dan ibu. Pas banget kita ngga bisa ngelak lagi buat nikah, kan?"
Laras terduduk mendengar kalimat Bayu barusan. "What?" Sekarang kesadarannya sudah utuh kembali. "Aku ngga pengen punya anak, tahu! Ngurus anak sendiri aja ngga pengen, apalagi disuruh ngurus anak orang. Plis, deh!"
"Kamu ngga pengen punya anak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
RomanceApakah kau dan aku akan menjadi kita setelah menikah? Hanya kita, aku dan kamu, tanpa dia. Laras, 2019