16. Sang Pemberontak

1K 130 20
                                    

"Bayangin, gimana muka Mami kalo tahu cincin kawinnya dari kasa." Bayu menyeringai penuh kemenangan.

Gelak Laras terhenti. "Hmm, masih pengen memberontak, ya?"

"Tipis-tipis aja. Kamu jadi pake snelli kan besok?"

Laras mengangguk ragu.

"Pake kalung stetoskop," usul Bayu.

Laras nyaris tersedak nasi goreng mendengarnya.

"Yang warna merah, ya. Biar sama ama kacamataku. Kalo perlu di buletannya itu, ada gambar hati."

"Aha! Aku punya!"

"Kamu punya?"

Mata Laras berbinar membulat. Dianggukkannya kepala dua kali.

"Jangan bilang dikasih si Budi itu."

Laras tertawa keras. "Kok tahu?"

Bayu melengos. "Keliatan dari mukamu, stetoskop itu punya cerita."

Tawa Laras makin keras. "Trus kenapa?"

"Ngga usah pake, aku beli baru aja."

"Loh, kenapa? Kan sayang, ga dipake."

"Ngga usah, aku ngga mau di nikahanku, istriku pake asesoris dari mantan."

"Lah, emang kamu ngga bawa-bawa mantan? Mantanmu malah ada di setiap sudut hati." Laras pura-pura cemberut.

Bayu terdiam. Untuk pernyataan terakhir, dia tak bisa berkutik. "Sorry," katanya. "Aku udah berhasil ngeluarin baju-baju Marini dari kamar," ucapnya dengan nada rendah, "tapi kalo dari hati..."

"Udahlah, ga usah dipikirin." Laras mengibaskan tangan di depan muka. "Budi itu bukan mantanku," katanya lagi. "Dia emang pernah nembak tiga kali, yang ketiganya malah ngelamar."

Alis mata Bayu terangkat. "Tiga-tiganya ditolak?"

Laras mengangguk. "Kan udah kubilang, aku ngga pengen punya anak. Waktu dia ngelamar, aku tanya, apa dia mau punya anak sama aku? Trus dia bilang, dia mau banget. Membangun sebuah keluarga bersamaku adalah impiannya, bla bla bla. Jadi aku tolak. "

Tak ada kata-kata dari Bayu. Dia hanya menatap Laras seolah ingin menguras isi otaknya.

"Kenapa?"

"Jadi kamu bener-bener ngga mau punya anak, ya?"

Satu tarikan napas dihela Laras. "Okelah kalo soal nikah. Tapi aku ngga mau punya anak. Tanggungjawabnya gede. Lagian ngapain juga nambahin populasi anak di dunia ini, sementara ada banyak anak lain yang terlantar. Itu belum beban psikologis yang mungkin akan ditanggung anak-anak akibat salah asuhan. Belum tentu juga aku akan ngasuh anak dengan bener. Anggep aku ngasuh anak bener, bisa jadi bapaknya yang salah ngasuh. Apalagi kalo bapaknya juga nanggung beban psikologis yang berat akibat salah asuhan juga waktu kecilnya. Kaya kamu, kan? Sampe sekarang masih memberontak sama ibu sendiri."

Kata-kata Laras menohok tepat di sasaran. Bayu sendiri tidak begitu memahami bagaimana perasaannya pada Mami. Selalu ingin memberontak apa pun keputusan beliau. Di sisi lain, tetap berusaha melindungi dan menjaga Mami, apa pun taruhannya.

"Jadi kamu ngga keberatan dengan seks selama tidak berakhir jadi aktivitas reproduksi?"

Kini Laras yang terdiam. Ingin membantah, tapi kata-kata Bayu ada benarnya juga. "Kamu membuatku terdengar seperti budak nafsu."

"Apa aku salah?"

"Hmm," Laras memilih kata agar tak terjadi salah paham, "ini bukan tentang seks sebagai rekreasi atau reproduksi. Ini tentang tanggungjawab kita sebagai orang dewasa yang menjadi yang membuat bayi-bayi itu lahir. Kita harus bertanggungjawab terhadap apa yang sudah kita lakukan."

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang