22. Midodareni

1K 124 17
                                    

Laras melepas stetoskop yang sedari tadi masih melingkar di leher. Diposisikannya eartips di kuping. Ini akan jadi kali pertama stetoskop itu difungsikan sebagaimana mestinya. Stetoskop merah yang diberikan Budi adalah stetoskop kardiologi yang didesain khusus untuk mendengarkan suara halus dari jantung. 

Siapa pun pasti paham maknanya. Budi memanfaatkan permainan kata dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Jantung adalah heart. Heart adalah hati. Dan tulisan dalam secarik kertas yang mengiringi stetoskop itu jadi penguatnya.

Do you feel my heart beating?
Do you understand?
Do you feel the same?
Am I only dreaming?

Yeah! Bud, you are dreaming!

Laras menggeleng keras. Menepis kenangan agar fokus di sini dan saat ini. Didengarkannya detak jantung Asha dengan saksama. Nyata sekali detaknya terlalu cepat untuk bayi.

"Kamu kasih apa Asha?" tanya Laras pada Surti yang berdiri menggigil.

"Su-su," jawabnya terbata.

"Ngga usah bohong! Saya dokter, kamu tahu! Jawab yang bener!" Mata Laras nanar memaku Surti.

Gadis itu makin menggigil. Bibirnya bergetar.

"Jawab!" bentakan Laras sudah persis seorang senior yang sedang meng-OSPEK juniornya.

"A-a-an-ti-mo." 

"Kurang ajar!" Laras tak sabar lagi. Satu tamparan mendarat telak di pipi Surti. "Berapa banyak?!"

"Cu-cuma se-tengah."

"Kurang ajar! Cuma katamu?! Umurnya belom sampe sebulan, goblok!" Didorongnya bebisitter itu ke pintu. "Ambil barang-barangmu, kamu dipecat mulai detik ini. Kalau sampai ada apa-apa sama Asha, kamu berurusan sama polisi!" 

Buru-buru Laras memesan mobil di aplikasi ojek online. Detak jantung Asha mencapai 190 kali permenit. Napasnya 60 kali permenit. Dia mungkin mengalami sesak napas. Bibirnya kering, kemungkinan kurang cairan. 

Kecemasan menelusup cepat, memenuhi rongga jantung dan pikiran. Padahal anak ini bukan siapa-siapa, kan? Dia cuma bayi terlantar yang telah dikeluarkannya dari rahim seorang perempuan. Namun jari Laras gemetar. Hatinya memanjatkan doa, semoga Yang Kuasa melindungi Asha.

***

Asha terpaksa dirawat di NICU. Malam itu Laras tak bisa tidur. Ia berusaha memejamkan mata di ruang tunggu. Tetap saja, pikirannya tak bisa berhenti bergerak.

"Pulanglah, besok kamu bakal butuh tenaga banyak," ujar Bayu lembut.

Laras tertawa. "Tenaga buat apa?"

"Katanya kamu mau ganti hari konsultasi hari ini dengan besok, ya kan?"

Laras terpaksa minta izin mendadak karena harus mengurus Asha di rumahsakit sore tadi. Pasien regulernya pasti sudah menumpuk dan tak akan mungkin menyuruh mereka kembali lagi hari Senin. Itu sama saja dengan menghukum diri sendiri dengan kerja dua kali di awal pekan.

"Tetep aja aku ngga bisa tidur," jawab Laras hampir seperti gumaman. "Harusnya aku ngga se-egois itu," ujarnya penuh sesal. "Harusnya aku tunggu dulu kepastian si bebisitter itu," suaranya nyaris tak terdengar. "Ya ampun, dokter macam apa aku? Gegabah begini?" Laras menahan isaknya dengan dua tangan.

"Jangan gitu, kamu udah lakukan yang terbaik. Sejak awal kamu memang ngga mau ada Asha." Bayu menghela napas. Secercah penyesalan tercecap dalam suaranya. "Harusnya memang kuserahkan saja Asha pada panti asuhan. Aku emang ngga sanggup ngerawat bayi." 

Hening. 

"Aku yang egois sebenarnya," lirih suara Bayu nyaris berbisik. "Aku yang mengharapkan Marini. Aku yang ingin dia hidup. Di bayi itu, aku melihat Marini. Kalau Marini ada di sini..." Lelaki itu menggigit bibirnya, berusaha menolak mata yang mulai menghangat.

"Astaghfirullah! Keegoisanku membuat Asha menderita. Bodohnya aku. Masih saja berharap Marini ada di sini!" 

Laras kehabisan kata-kata. Tapi akhirnya dia berkata juga, "Marini sudah pergi. Ngga bakal ada yang bisa gantiin dia. Ngga Asha, ngga juga aku. Kenapa kamu ngga terima saja? Marini sudah pergi."

Kalimat Laras seperti sengatan listrik tepat di jantung Bayu. Dia tahu, Marini memang sudah pergi. Namun Bayu masih berharap, tiba-tiba ada keajaiban. Mungkin Marini akan menitis pada tubuh seseorang atau dia akan hadir dalam bentuk lain. Laras benar, dia belum bisa menerima bahwa Marini sudah pergi.

Pengetahuan tidak sama dengan kesadaran. Meski tahu Marini sudah pergi, tetap saja Bayu menolak untuk meyadarinya. Menolak. Digarisbawahinya satu kata itu. Menolak berarti tidak mau, bukan tidak bisa.

"Besok kita mau nikah, kamu ingat?" tutur Bayu bukan bertanya.

Laras mengulum senyum dalam tawa miris. "Tentu ingat. Kenapa?"

"Malam ini harusnya malam midodareni," kata Bayu lagi, bukan memberitahu.

"Lalu?"

"Malam ini harusnya aku datang padamu, mengantarkan seserahan, menyatakan kesungguhan..." kalimatnya menggantung di awang-awang.

Laras menahan tawanya agar tak terlalu mengganggu di lorong hening itu. "Lalu apa yang kamu hantarkan malam ini?"

"Kesedihan," suara Bayu seolah menguap di udara. "Aku yang mengantarkan Asha padamu. Aku yang membuatmu tertahan di sini."

Udara begitu berat untuk ditarik malam ini. Laras merasakan dingin menelusup melalui serat kain kemejanya.

"Aku sudah cukup melihat dampak keegoisan hari ini. Budi hampir buta, kurasa itu karena keegoisannya. Asha hampir celaka, keegoisanku jadi penyebabnya." Bayu mengambil jeda sejenak agar dapat lurus menatap Laras. "Dan besok, mungkin akan jadi pameran keegoisanku. Aku akan memanfaatkanmu untuk memberi kebahagiaan buat Mami."

Selarik napas diembuskan Laras. Ditatapnya lelaki itu lekat. Andai pikiran dapat bertaut, ia berharap sekaranglah saatnya.

"Jangan lakukan ini untukku, jangan lakukan ini untuk Mami," suara Bayu lirih memohon.

Laras menggigit bibir. Sedalam apa pun ia berusaha, pikiran lelaki ini tetap tak dapat diselaminya.

"Di manakah batas egoisme? Jika aku menolak pernikahan ini karena tidak menginginkannya, apakah itu bukan bentuk egoisme? Jika aku menyetujui pernikahanku demi memberi kebahagiaan pada Mami, apakah itu bentuk altruisme?"

"Aaargh!" Bayu mengacak rambutnya sendiri. "Aku tak bisa lagi memahami mana yang benar dan mana yang baik. Apakah yang baik selalu benar? Apakah yang benar selalu baik? Kamu menjungkirbalikkan logika. Membuatku tak bisa berkata-kata. Cuma bisa mengikuti arus yang aku tak tahu bermuara di mana."

"Apakah itu salah? Apakah mengikuti jalan yang sudah disiapkan Tuhan itu salah?" Pandangan Laras menjauh. Menembus langit-langit lalu terus terbang entah ke mana. "Kita terbiasa menolak. Kita terbiasa tidak menerima sesuatu yang tak bisa dicerna otak. Mungkin ini yang namanya pasrah. Pasrah itu menerima. Terima saja tanpa bertanya. Terima saja tanpa membantah. Dengan penuh keyakinan bahwa yang sudah ditetapkan Tuhan, itulah yang terbaik."

Bayu turut melepas pandang jauh menembus langit-langit. Berusaha menggapai cakrawala. Melampaui atap. Melampaui segala batasan. 

Apa yang baik dari kepergian Marini? Apa yang baik dari meninggalkannya sendiri tanpa sandaran? 

Kenapa menerima sesuatu yang tidak disukai? Kenapa harus menerima segala penderitaan ini? Kenapa harus menerima rasa sakit ini? Ketika kita bisa melawannya, kenapa harus berpasrah?

"Kamu bikin aku pusing, Ras," tukas Bayu akhirnya.

"Yah, tidurlah. Yang butuh banyak energi itu kamu. Kamu yang akan mengucap ijab qabul besok. Aku cuma tahu beres, nunggu kata sah aja."

Malam itu, tak ada lagi kata yang dipertukarkan keduanya. Masing-masing tenggelam dalam kelelahan di bangku ruang tunggu. Laras bersikeras menunggui Asha, meski ia tahu itu tak akan banyak berguna. Bayu tak sanggup pulang jika harus meninggalkan Laras sendirian.

Di sanalah mereka berdua. Menghabiskan malam midodareni dengan menunggui bayi yang bukan tumbuh dari benih keduanya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang