Malam ini mungkin adalah malam tersibuk bagi Laras. Sabtu dan Minggu biasanya digunakan untuk berlibur. Sekadar melepas penat setelah sepekan bekerja. Meski masih bersedia menerima panggilan untuk kasus cito, namun di atas kertas, ia melepaskan diri dari urusan pekerjaan.
Sabtu ini berbeda. Selain melayani pasien regulernya yang tertunda di hari Jum'at, Laras juga berbaik hati menerima limpahan pasien Budi yang tak mau menunggu hingga dokter itu pulih. Bisa dibilang, jumlah pasiennya hari ini sekitar satu setengah kali lipat dibanding biasa.
Hectic, satu kata itu bisa menjelaskan bagaimana suasana otaknya kali ini. Bukan saja pasien yang wajib diurus. Asha pun menambah satu slot aktivitas yang tak bisa ditunda.
Sebelum tiba di rumahsakit, ia sudah menelepon ruang bayi untuk meminjam satu box bayi. Tempat tidur itu sudah siap di ruang periksanya sebelum Laras tiba.
Para perawat poli kandungan terperangah ketika ia tiba dengan ransel besar berisi susu, baju ganti, pospak, dan perlengkapan tetek bengek lainnya. Ransel imut stylish-nya sudah tidak memadai jika harus membawa bayi turut serta.
"Ya ampun, Dok. Kirain kenapa tadi OB bawa-bawa box bayi ke sini," begitu sambutan Nina melihat Laras dengan gembolan depan belakang. Di depan mendekap Asha, di belakang menggendong ransel.
"Bayinya Pak Bayu, ya Dok?" tanya Sita tanpa basa-basi.
Laras berpikir sebentar. "Itu pertanyaan menarik. Bayinya Pak Bayu atau bayiku?" Ada perasaan tak rela menjalar saat mendengar pertanyaan Sita. Sebenarnya ini bukan bayi mereka berdua, kan? Tapi...
Laras menidurkan Asha dalam tempat tidur bayi yang sudah disediakan. Wajahnya begitu tenang sekaligus menggemaskan. Bayi ini bukan milik siapa-siapa. Dia milik Tuhan. Laras memutuskan hanya menjadi penyambung tali kasih Tuhan yang memang tak pernah putus bagi manusia. Itu saja.
Sore beranjak malam. Asha masih terjaga tiap dua jam, meminta susu atau mengganti popok. Laras akan menjeda waktu praktiknya selama setengah jam untuk melayani kebutuhan Asha. Sekali waktu bayi itu tak mau dilepas di tempat tidur hingga Laras pun memasukkannya ke dalam gendongan kanguru.
Untungnya para pasien yang memang sedang menanti buah hati tidak mengajukan protes melihat dokternya melayani konsultasi seraya menggendong bayi. Bahkan ada yang mengapresiasi terang-terangan karena Laras tetap mengasuh bayinya sendiri meski sedang bekerja. Salah seorang dari mereka bahkan meminta ijin untuk mengambil foto guna diunggah ke media sosial.
Laras hanya meninggalkan Asha sekitar dua jam untuk melakukan SC cito. Ketika itu si bayi terpaksa dititipkan pada Nina yang dengan senang hati menjadi bebisitter dadakan. Lagipula, siapa yang sanggup menolak pesona bayi seimut itu, bukan?
Hingga akhirnya sampai di rumah saat tengah malam, Laras sama sekali tidak merasa lelah. Aroma bayi seperti obat kuat yang membuatnya tersenyum lagi dan lagi. Dia benar-benar baru merasakan, efek aroma bayi bisa seperti ini.
"Asha ngga mau bobo? Mama udah capek, nih," katanya pura-pura merajuk.
Asha membalas dengan sudut bibir tertarik ke pipi.
"Eh? Asha senyum, ya? Asha senyum sama Mama! Ih, Asha manis banget, deh, kalo senyum. Foto, yuk. Kirim ke Papa." Tanpa berpikir, Laras mengambil ponsel untuk memotret.
Disertai tulisan, "Senyum pertama Asha untuk Mama." Ditambah emoticon mata penuh cinta, pesan itu terkirim ke ponsel Bayu.
Hanya dibaca. Tak ada balasan.
Laras tertawa. Begini ternyata rasanya, chat saat sedang online, tapi hanya dibaca tanpa balasan. Dia sudah sering mendengar Nina curhat mengenai perilaku chat suaminya atau Sita mengeluh soal pacarnya yang paling hebat hanya memberi jawaban dengan emoticon jempol atau senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
RomanceApakah kau dan aku akan menjadi kita setelah menikah? Hanya kita, aku dan kamu, tanpa dia. Laras, 2019