Koridor menuju ruang operasi itu lengang. Suara karet sneakers menjejak lantai bergema, memantulkan Bayu pada kenangan enam bulan lalu.
Ketika itu, dinding-dinding menggaungkan degup jantungnya. Masih jelas dalam ingatan, bulir-bulir keringat yang bergulir pelan di pelipis. Belum pernah dia secemas itu selama hidup.
"Selamat, Pak. Bayi Bapak cantik sekali. Sekarang sedang dalam perjalanan ke NICU," dokter itu memberi kabar dengan senyum tertahan.
Bayu tertegun. Bukan seperti kabar yang ia terima enam bulan lalu. Ketika itu dokter dalam setelan biru-biru keluar dengan muka muram. Suaranya terdengar berat ketika berkata, "Maaf, Pak." Hanya dua kata itu yang masih terang diingat. Lalu dunia serasa terbalik seketika.
"Pak?" suara lembut dokter di depannya mengembalikan Bayu ke masa kini. "Tapi istri Bapak mengeluarkan terlalu banyak darah. Tubuhnya tidak kuat..."
Dua kalimat terakhir ini mirip sekali. Sangat mirip dengan yang didengarnya enam bulan silam. Marini kehilangan banyak darah, tubuhnya terlalu lemas untuk melanjutkan hidup. Dia pergi bersama bayi yang dirindui sepenuh hati.
"Pak?" lagi-lagi lembut suara dokter itu menarik Bayu dari ruang kenangan.
"Tapi saya bukan bapak bayi itu," lirih Bayu berujar.
"Oh, maaf." Dokter itu terlihat tak enak hati. Mata beningnya menyapu ruangan.
Bayu tak mungkin melupakan mata itu. Mata yang entah bagaimana selalu saja tampak lucu. "Laras?"
"Eh?" Dokter itu meneliti pria yang berdiri tegak di hadapannya. "Mas Bayu?" katanya setelah beberapa saat memperhatikan dengan saksama.
"Sorry, tadi telat."
"Sejam itu keterlaluan!" Lalu ia berbalik tanpa menunggu respon lelaki itu.
"Sebentar!" Bayu mengejarnya sampai di depan pintu ruang operasi.
"Aku udah ditunggu pasien dari jam empat tadi. Sorry," katanya sebelum menutup pintu besar itu.
Bayu mengembuskan napas kesal pada pintu yang tertutup. Kalau bukan demi Mami, dia pasti sudah pulang dari tadi. Tapi Mami besok akan menjalani mastektomi, payudaranya akan diangkat untuk menahan laju penyebaran sel-sel pemberontak itu.
Meski tak bilang apa-apa, Bayu tahu, Mami sangat cemas. Karenanya dia bersikeras menemui Laras hari ini. Berharap kepastian dari gadis itu mampu mengurangi tingkat stress Mami. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk mendukung proses pengobatan sang ibu.
***
"Saya mau konsultasi dengan dokter Laras," kata Bayu seraya meletakkan map berisi data diri di atas meja.
"Yang mau konsultasi Bapak sendiri?" perawat itu mengkonfirmasi dengan nada tak percaya.
Bayu mengangguk penuh percaya diri.
Meski masih tampak keheranan, perawat itu tetap melanjutkan proses administrasi. "Kalau sama dokter Budi gimana, Pak? Pasien dokter Laras banyak banget, kemungkinan Bapak baru dapat giliran sekitar jam sembilan-an."
"Saya bersedia nunggu. Cuma dokter Laras yang memahami kandungan hati saya," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Perawat itu tersenyum penuh arti lalu mengangguk. "Baik, Pak," ujarnya, "ditunggu, ya."
***
Laras meregangkan tubuh sejenak begitu pintu ruang konsultasi tertutup. Sudah hampir pukul sembilan, perutnya mulai berontak lagi. Bubur kacang hijau yang tadi sempat mengganjal lambung sepertinya sudah habis tecerna sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
RomanceApakah kau dan aku akan menjadi kita setelah menikah? Hanya kita, aku dan kamu, tanpa dia. Laras, 2019