"Menurut lo, mending gue dateng apa ngga?" tanya Laras pada sahabatnya.
Lathifa tak langsung menjawab. Ujung telunjuknya mengetuk bibir pelan-pelan. "Menurut gue..."
Laras menanti jawaban.
Dengan hati-hati, sahabatnya itu berujar, "Kayanya si Bayu sebenernya ngelamar elo, deh."
"Hah?!" kontan Laras terduduk. "Hah! Yang bener aja! Dia tuh masih apa-apa Marini, apa-apa Marini. Ngelamar lo bilang? Ngga salah lo?"
"Lo liat, dong, pertanyaannya. Dia ngasih lo kesempatan," kata Lathifa menekankan pada kata terakhir. "Kesempatan, Ras. Dia ngasih lo pilihan."
Laras mengernyit. Logika Lathifa kali ini sangat tidak masuk akal baginya.
"Kalo dia mau ngebatalin, dia bisa bilang, Gue udah putusin, akad nikah ini batal aja. Lo ngga usah repot-repot dateng," Lathifa berargumen.
"Lah, kan emang dia bilang gitu?"
"Ngga! Dia bilang ini kesempatan terakhir lo. Dia sebenernya udah mutusin, tapi keputusan akhir ada di tangan lo. Dia ngga mau lo terpaksa nikahnya. Dia mau, ini beneran lo yang mau nikah."
Kepala Laras terasa gatal. Padahal dia baru saja keramas. "Gue ngga ngerti."
"Ck, Ras," Lathifa mulai kehabisan akal meyakinkan sahabatnya, "Ngga mungkin kan dia bilang Will you marry me? Udah pasti jawabannya iya. Kan emang udah mau nikah ntar jam 9? Makanya dia pake cara lain."
Laras berusaha keras mencerna kata demi kata yang dilontarkan sang sahabat. Tapi tetap saja tak ada yang masuk di akalnya. "Di kepalanya cuma ada Marini, Peh. Ngga mungkin tiba-tiba, cling! Ada gue!"
"Soal itu, gue ngga tahu. Gue cuma berusaha mencerna kata-katanya si Bayu. Menurut gue omongannya itu aneh. Ngga masuk akal. Kalo emang niat ngebatalin, kalo emang udah tahu gimana caranya ngomong sama Maminya, ya udah sih, ngomong aja. Ngga usah pake ngasih kesempatan-kesempatan segala."
Laras menggosok keningnya. "Gue bener-bener berusaha mencerna kata-kata lo. Logikanya ngga masuk, Peh."
"Udah gitu, kalo emang mau nikah, ngapain juga pake nungguin elo segala. Nikah aja langsung, kan udah ada wali nikahnya."
"Pusing gue." Laras beranjak untuk menjemur handuk. "Menurut lo," katanya setelah kembali lagi, "mendingan gue dateng ato ngga?"
Lathifa mengembuskan napas kesal. Entah dungu atau polos namanya. Sepertinya Laras tak punya sambungan neuron yang mengurus perkara lelaki. Jadi setengah putus asa, separuh menyerah, Lathifa berkata, "Kalo soal itu, cuma lo yang bisa putusin."
Laras menghempaskan badan ke kursi di depan meja kerja.
"Gue tahu, lo ngga pake mikir ngelepas Budi. Ngga ada nyesel-nyeselnya juga. Tapi kayanya lo berat ngelepas Bayu, ya?"
***
Brak! Pintu kamar perawatan Mami dibuka dengan kasar. Laras muncul dengan napas tersengal, berdiri bertelekan gagang pintu. Lututnya serasa hendak bubrah setelah setengah berlari naik tangga lima lantai.
Elevator di lantai dasar hari ini sibuk sekali. Ada dua yang tersedia, dan keduanya sedang beranjak naik dari lantai belasan. Fiuh!
"Aku terlambat?" tanyanya penuh harap.
Senyum Bayu mengembang. Matanya berkilauan. Mami bisa mendengar jarum jam kehidupan putranya telah berdetak lagi.
"Ngga, kamu on time," katanya sambil meraih sebotol air mineral di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
RomansaApakah kau dan aku akan menjadi kita setelah menikah? Hanya kita, aku dan kamu, tanpa dia. Laras, 2019