15. Membayangkan Pernikahan

1.1K 134 10
                                    

Entah berapa kali Asha terbangun sejak jam 3 pagi itu. Laras tak bisa berhitung lagi. Yang dirasa hanya pening ketika ujung jempolnya dicubit. 

Bayu menahan tawa melihat ekspresi Laras. "Subuh," katanya di sela gelak.

Gadis itu bangun. Dalam keadaan setengah sadar ia berangkat ke kamar mandi. Rasanya seperti begadang meski ia yakin sempat tidur beberapa waktu. Entah berapa lama. Mungkin seperti ini derita para ibu baru. Setidaknya besok akan ada bebisitter. Dia tak perlu lagi mengurusi bayi, yeaaay!

Keluar kamar mandi, Laras menemukan Bayu sedang bersedekap memandang foto pernikahannya yang tergantung jadi titik fokus di ruang tamu. Kalender bekas tergeletak bersama lakban dan cutter di sisi kakinya. Selesai sholat, lelaki itu masih belum beranjak dari tempatnya. Laras mengurungkan niat untuk mengambil air minum dan berbelok duduk di sofa.

"Aku mau ngelepas ini dulu," kata Bayu begitu menyadari Laras duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.

Laras diam.

"Gimana menurutmu?"

Laras menautkan alis. "Ngga perlu," jawabnya ringan.

"Tapi kita mau nikah. Harusnya yang ada di sini foto pernikahan kita nantinya."

Laras meledakkan tawa. "Foto nikahan apa?" ujarnya tanpa menghentikan tawa.

"Foto nikahan seorang gamer dengan seorang dokter. Aku akan pake kaos putih, kacamata merah, dan headset segede gaban. Kamu pake snelli-mu yang paling putih," Bayu menimpali candaan calon istrinya. "Nanti fotonya kita pampang di sini. Dicetak gede-gede."

Tawa Laras makin membahana.

"Ssst, nanti Asha bangun!" Bayu berbisik keras. 

Lalu diam. Laras membekap mulut sendiri agar berhenti tertawa.

Bayu mendekati foto berpigura cantik itu. Dielusnya ujung bingkai berwarna emas. Aura kesedihan terasa pekat di udara. "Hidup itu ironis, ya," ujarnya lirih.

Laras diam menyimak.

"Selama nikah sama aku, dia selalu cemburu sama kamu."

Alis Laras bertaut mendengar informasi baru ini.

"Tiap ketemu, Mami pasti ngomongin kamu. Laras yang pinter, yang udah jadi dokter,  spesialis lagi, yang cantik, yang baik, yang santun, yang tahu adat kesopanan," Bayu mendengus di sini. 

Laras terpana mendengar kalimat Bayu. Tanpa disadari, mereka ternyata telah lama bersaing. Jika sekarang dia kesal disebut-sebut memiliki rambut seharum Marini, istri Bayu itu ternyata sudah lebih lama kesal dibanding-bandingkan dengannya.

"Sekarang aku malah mengeluarkan semua barangnya untuk diganti dengan barang-barangmu." Bayu memijit dua pangkal matanya. "Aku ngga pernah bisa membelanya, bahkan setelah dia pergi."

Laras menelan ludah. "Ngga usah terlalu memaksakan diri. Aku ngga apa-apa, kok."

Bayu memutar badannya, masih bersedekap memandang Laras.

"Kamu sudah bersamanya bertahun-tahun. Malah aneh kalau sanggup melupakannya hanya dalam semalam."

Mata Bayu menatap Laras dalam-dalam. Berusaha menggali makna sesungguhnya dari kata-kata yang terucap. Sia-sia. Laras tampak begitu tenang. Tatapannya mantap. Kalimatnya tidak bersayap.

Aneh. Bayu malah merasa tertantang. Diturunkannya gambar berbingkai emas itu. Wajah Marini terlihat sangat dekat. Senyum lebar itu membuatnya sangat cantik. Lima tahun lalu, ketika yang ada hanya bahagia.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang