Hujan deras terlihat menanti di luar jendela. Suara decit wiper terdengar mengintimidasi Laras. Benaknya berhitung. Bagaimana menyeberang jalan hingga masuk di bawah atap stasiun tanpa membuat si bayi basah dan kedinginan? Andai ia sendirian, hujan sederas ini tak akan begitu dipermasalahkan. Tapi saat membawa bayi, dunia terasa jauh lebih rumit.
Kilatan cahaya membuat jalanan terang seketika. Suara guntur menggelegar sedetik setelahnya. Laras mencoba bernegosiasi dengan sang driver, "Pak, kalo nganter sampe Jakarta, mau ngga?"
Driver tersebut tampak terkejut. Ia menoleh ke belakang demi menjawab dengan sopan, "Wah, saya udah mau pulang, Bu."
Laras mengangguk maklum. Sudah lewat pukul 9 sekarang. "Abisnya ujan deres banget. Nanti keluar kereta juga masih harus nge-go-jek lagi."
"Paling nanti juga udah reda pas nyampe Jakarta, Bu," si driver membesarkan hati.
"Iya, deh. Makasih, ya Pak." Laras melepas parka-nya untuk dibalutkan pada tubuh kecil si bayi. Guntur dan guruh silih berganti ketika ia berlari menyeberang jalan seraya mendekap erat bayi mungil di dua tangan.
Baru saja Laras menarik napas lega. Tantangan selanjutnya sudah siap di depan mata. Tapping kartu kereta. Lututnya mulai lemas.
Dengan satu tangan, ia merogoh kantong ransel untuk mengambil kartu kereta. Sementara tangan kiri mengapit bayi yang dibedong dan terbungkus parka. Hanya mereka yang pernah mengalami mampu memahami betapa sulitnya.
Announcer mengumumkan bahwa kereta terakhir menuju Jakarta sudah melintas di jalan baru. Itu berarti tak sampai lima menit lagi akan masuk stasiun. Laras setengah berlari menuju underpass. Kereta Bogor baru saja masuk hingga ia tak bisa melintas rel melalui jalur prioritas untuk ibu hamil atau mereka yang kesulitan naik turun tangga.
Baru kali ini ia benar-benar merasa tangga masuk underpass di Stasiun Cilebut terlalu tinggi. Apa boleh buat, ini jalan tercepat dibandingkan harus menunggu kereta Bogor keluar stasiun.
Pintu gerbong langsung menutup begitu Laras menjejakkan kaki di dalam kereta. Ranselnya bahkan sempat terjepit pintu yang menutup otomatis. Seorang ibu berteriak nyaring demi melihat situasi itu. "Ya ampun, Mbak. Hampir aja, lho!" serunya khawatir.
Laras tak sempat mencemaskan apa pun. Ia bersyukur bisa duduk dan si bayi masih bernapas. Bayi itu manis sekali. Kulitnya kemerahan, bibirnya tampak mungil. Sebentar dia menggeliat seperti ingin keluar dari bedong yang mengikat.
"Berapa umurnya, Mbak?" tanya si ibu berbasa-basi.
"Dua hari," Laras menjawab singkat.
"Loh?" si ibu terbelalak, "udah diajak jalan-jalan malem-malem gini? Bapaknya mana?"
Laras memberi si ibu tatapan tajam. Dasar emak-emak. Ngga tahu apa-apa, seenaknya aja nge-judge orang! "Ini saya mau nemuin bapaknya!" tukasnya kesal.
***
Bayu baru saja memperbaiki selimut Mami ketika terdengar dering telepon. Buru-buru ia menyapu layar agar suara ponsel tidak mengganggu tidur sang ibu.
"Ya?" sapanya setengah berbisik.
Terdengar tangis bayi di seberang sana lalu suara Laras berujar dalam nada kesal, "Aku di lobby, cepetan turun, bayimu nangis mulu, nih!"
"Laper kali. Coba disusuin dulu."
"Disusuin mbahmu! Cepetan turun!" bentak Laras gusar.
Setelah memastikan kondisi kamar dan Mami, Bayu meraih jaket yang tergantung di balik pintu. Tak lupa ia pamit pada para perawat di ruang jaga agar mereka tahu tidak ada yang menunggui penghuni kamar 501.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
RomanceApakah kau dan aku akan menjadi kita setelah menikah? Hanya kita, aku dan kamu, tanpa dia. Laras, 2019