Laras terbangun ketika mobil telah merapat di depan rumah Bayu. Rumah itu tidak besar, tidak juga bisa dibilang kecil. Tamannya tampak terawat di bawah keremangan lampu teras.
"Sorry, rumahnya mungkin agak berantakan. Si Bibi datengnya cuma hari Sabtu buat ngeberesin rumah. Kalo hari-hari gini, cuma ngerapiin teras sama taman aja," Bayu berbasa-basi panjang sembari mempersilakan Laras masuk.
Yang dibilang berantakan oleh Bayu sebenarnya lebih rapi dari kamar kos Laras. Semua barang tertata apik dengan sangat manis. Foto pernikahan Bayu dan Marini berbingkai cantik menyambut di ruang tamu. Mereka terlihat sangat bahagia. Bayu menatap pengantinnya penuh cinta. Laras tersenyum. Pasangan ini tampak serasi sekali.
Bayu meletakkan Asha yang masih terlelap di kamarnya. Wajah pulas bayi mungil itu sungguh menggemaskan. Andai Marini ada di sini, dia pasti akan langsung memeluknya. Sayang, Laras tidak menginginkan bayi. Jika tidak, Bayu pasti akan merawat si mungil ini tanpa ragu.
"Kamu bisa tidur di kamar Mami, sementara," Bayu membukakan pintu kamar untuk Laras. "Tadinya ini kamar bayi," dia melanjutkan, "berhubung bayinya udah ga ada, jadi kamar tamu. Sebelum dirawat, Mami yg tinggal di sini."
Laras tersenyum, berterimakasih. "Nyantai aja. Aku cuma numpang tidur, kok."
"Oya, kalau kamu mau ganti baju, boleh pakai baju Marini. Sepertinya ukuran kalian sama," tawar Bayu lagi.
Setelah berpikir sejenak, menimbang baju yang lembab ditambah aroma keringat, Laras setuju. "Boleh juga," ujarnya.
Bayu mengajak Laras memilih sendiri baju yang diinginkan dari lemari. "Silakan," katanya membukakan pintu lemari.
Lemari itu cukup besar. Pintu gesernya menghemat penggunaan ruang di kamar yang tidak besar itu. Kamar Bayu terasa teduh dan luas meski ukurannya mungkin cuma 3x3. Hanya ada satu lemari besar, sebuah tempat tidur untuk berdua yang dilengkapi nakas. Sekeping cermin ditempel di atas nakas yang difungsikan sebagai meja rias. Bedak, lipstik, pelembab, krim-krim perawatan, serta parfum tertata rapi di atasnya.
Foto bayi ukuran besar digantung di dinding. Dari mata birunya, Laras yakin itu bukan foto bayi mereka. Di sekeliling bingkai foto bayi itu disusun foto-foto Marini dan Bayu juga hasil cetak USG si jabang bayi. Ada sembilan gambar berpasangan. Mereka tampak bahagia menikmati proses pertumbuhan si jabang bayi dalam kandungan.
"Tinggal satu foto yang gede itu yang belom diganti," suara Bayu mengejutkan Laras. Dia pasti sudah terlalu lama memandangi foto-foto di dinding. "Rencananya nanti kalo si dede lahir, kita akan foto dia, lalu fotonya akan ditaro di situ," lanjutnya getir. "Sayang, dia bahkan ga sempet lahir."
Bayi di tempat tidur itu mulai menangis. "Hai Asha, udah bangun?"
Sapaan Bayu membuat Laras menautkan alis. Cepat sekali orang ini memutuskan sebuah nama.
"Sebentar, ya. Papa buatkan susu." Bayu mengecup kening bayi itu sebelum mengorek tas bayi untuk menemukan botol susunya.
Mulut Laras membuka. Sekarang dia menyebut diri sendiri Papa? Yang benar saja!
Bayi itu masih menangis. Kini makin keras. Keningnya basah oleh keringat. Laras mengangkatnya hati-hati. Punggung mungilnya terasa basah juga. "Hoo, kegerahan? Bilang, dong. Biar AC-nya dinyalain."
Laras meraih remote AC di atas nakas dan menyalakan pendingin ruangan itu. Sedikit demi sedikit tangis si bayi sirna.
"Heh? Udah bobo lagi?" tanya Bayu yang sudah siap dengan susu dalam botol. "Wow, kamu pinter nidurin bayi ternyata."
"Dia kegerahan, aku cuma nyalain AC aja." Laras beralih menuju lemari. Tanpa banyak berpikir, menarik sebuah baju terusan selutut yang terlihat nyaman dipakai tidur. "Aku pake ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
RomanceApakah kau dan aku akan menjadi kita setelah menikah? Hanya kita, aku dan kamu, tanpa dia. Laras, 2019