13. Masa Lalu

1.1K 135 12
                                    

Bayu kembali ke kamar kos Laras. Menunggu Asha bangun sembari melanjutkan to do list-nya yang terbengkalai. Hanya tigapuluh menit. Setelah itu, menyerah. Pikirannya dipenuhi rencana akad nikah yang sudah disusun rapi oleh Mami. Tak ada lagi celah untuk memikirkan hal lain.

Asha terbangun, dan Bayu memandikannya. Kata orang, ketika kita punya anak, baru benar-benar sadar bagaimana rasanya jadi orangtua. Tapi, buat Bayu tidak tepat begitu.

Bayu tidak ingat pernah dimandikan oleh Mami. Yang dia ingat justru Ibuk. Ibuk yang memandikan. Ibuk yang memakaikan pakaian. Ibuk yang menyuapi. Waktu dia jatuh dari sepeda, Ibuk juga yang mengobati. Saat patah hati pertama kali, Ibuk yang menyemangati. Bahkan sebelum melamar Marini, pada Ibuk juga Bayu berkonsultasi.

Lalu di mana Mami? Asha membalas tatapannya saat sedang disusukan. Menatap bening mata bayi menghangatkan hati Bayu yang sepi.

Mami selalu ada. Ketika harus mengambil rapor. Mengantar sekolah lalu menjemput di siang hari. Ke mana pun pergi field trip saat SD, Mami selalu menemani.

Mungkin memang seperti itulah hubungan mereka. Diikat oleh tali yang bernama tanggungjawab. Seperti yang dilakukan Bayu sekarang. Bertanggungjawab atas status kesehatan Mami, termasuk kesejahteraan psikologis maupun fisiknya.

Demi ikatan tanggungjawab itu, Bayu membiarkan Mami mengatur hidupnya. Kemudian mencari cara cerdas untuk berkelit dan menjalani hidup yang diinginkan.

Tapi hari ini Mami sudah kelewatan. Ralat, Mami tidak kelewatan, hanya Bayu yang merasa berhadapan dengan jalan buntu. Dan semakin parah, karena Laras pun sudah menyerah.

Selepas maghrib, Bayu mulai kelaparan. "Udah makan? Mau aku pesenin go-food sekalian?" dikirimnya pesan pada Laras.

"Barusan pesen mie ayam di kantin," balas Laras 3 menit kemudian.

Bayu masygul. Berharap bisa makan malam bersama si calon istri. Mungkin memperbanyak interaksi dengan Laras bisa menyusutkan kehadiran Marini sedikit demi sedikit. Bagaimana pun, kalau rencana pernikahan ini memang tak bisa dihindari, mau tak mau, Marini harus pergi. Pergi total, dari kehidupan maupun pikiran.

Asha baru selesai berganti popok. "Mau jalan-jalan, Dek?" Bayu melilitkan kain gendongan ke pinggang. "Ayo kita jalan-jalan. Wisata kuliner, cari jajanan." Dimasukkannya bayi mungil itu ke dalam gendongan.

Di luar bertemu Lisa yang hendak keluar mencari sesuatu untuk makan malam. "Mau ke mana, Pak?" sapanya berbasa-basi.

"Cari makan, laper, nih," jawab Bayu sekenanya.

"Loh, Dede-nya dibawa, Pak? Kesian atuh, kena angin malam."

"Yah, mo gimana lagi?" jawab Bayu ditingkahi tawa.

"Ih, saya beliin aja, sini. Bapak mau apa?"

Bayu menimbang-nimbang. Tadinya dia hanya ingin meluruskan kaki yang sudah terlalu lama duduk. Tapi membawa bayi yang belum berumur seminggu terkena angin malam juga sepertinya bukan pilihan bijak. "Ya udah, titip mie ayam, deh." Hanya menu itu yang terpikir di kepalanya.

***

Laras sedang menikmati mie ayam bersama Nina di ruang praktiknya, ketika Budi masuk tanpa mengetuk.

"Hai, Bud, makan?" tanya Laras berbasa-basi.

"Udah barusan," jawabnya singkat langsung duduk di depan Laras.

"Cowok lo gamer?"

Uhuk! Tembakan pertanyaan Budi membuat Laras tersedak sambal. Kerongkongannya panas seketika. Refleks ia meminum banyak sekali air demi meredakan kebakaran di dalam leher.

"Lo dapet info dari mana?" balas Laras sebelum menjawab.

Budi menyodorkan ponselnya. Sebuah foto hasil tangkapan layar dari pembicaraan di grup perawat.

Sialan, Lisa!

"Dari Diana," Budi menjelaskan sumbernya. Diana adalah istrinya yang baru dinikahi sebulan lalu. Dia sekarang bertugas di poli anak. Sebelum ini ia adalah perawat dokter Budi. Demi alasan profesional, ia minta pindah ke poli anak.

Di layar tampak gambar Bayu sedang menghadap laptop dengan perlengkapan perangnya, kacamata merah dan headset dengan koneksi bluetooth. Di layar jelas terpampang game yang sedang dimainkan.

Laras mendengus. Dasar tukang gosip!

"Ati-ati, Ras. Jangan sampe lo cuma dimanfaatin aja ama dia," ungkap Budi prihatin.

Laras berusaha keras untuk tidak tertawa.

"Yang namanya gamer, dia pasti bakal nomor dua-in lo. Udah keliatan, tujuan dia pasti cuma nyari orang buat ngasuh anaknya, kan? Supaya dia bisa bebas nge-game lagi."

Sekarang Budi sudah melewati batas. "Udah, sih Bud. Gosip murahan gini lo ladenin."

"Gue cuma kesian ama lo. Kayanya lo udah percaya banget sama dia, sampe dibiarin aja nginep di kosan lo."

Laras mulai kesal, "Bud, mending lo urus bini lo, deh. Daripada ngurusin gue. Lo udah kawin, ga usah ngurusin gue lagi, oke?"

"Gue cuma mo ngingetin lo aja. Jangan sampe lo salah milih laki."

"Maksud lo? Gue mustinya milih lo gitu? Apa lo ngerasa kebanting, secara cowok yang gue pilih ternyata gamer?"

"Serah, lo dah. Penting gue udah ngingetin."

"Okay, makasih dokter Budi," pungkas Laras sambil melambaikan tangan.

Tapi Budi masih belum mau beranjak. "Lo serius sama dia?" pertanyaannya terlalu lirih hingga mirip gumaman.

Laras mendengus kesal. "Dokter Budi, Anda kehabisan pasien, ya? Sampe harus ngegosip ke sini buat buang waktu?"

Disindir begitu, Budi beranjak pergi. "Serah! Gue ke sini cuma buat ngingetin. Lo mau kejeblos, kek, mo rusak, kek, bukan urusan gue!"

"Nah, tuh nyadar," Laras membalas tak peduli.

***

Ketika sedang bersiap pulang, giliran Lathifa yang datang dengan tawa terpasang. "Apa, nih? Pasti mo ngomongin gosip, dah," sambut Laras begitu melihat muka sahabatnya itu menyembul di antara daun pintu.

Lathifa mengakak hebat. "Tadinya kirain asik buat lucu-lucuan. Ngga tahunya, lo sampe di-tag di IG story!"

Laras terpana. "Siapa yang nge-tag?"

" Nih," Lathifa menunjukkan IG Story yang dimaksud. "Gue ga tahu ini asalnya dari mana. Tau-tau udah heboh aja di grup."

Di situ terlihat Asha sedang mengusap-usap pipi dan mulutnya dengan tangan terkepal. Di sekitarnya ditempelkan tulisan, "Mama kapan pulang? Asha kangen."

Laras tertawa. "Lucu banget, ya?" katanya pada Lathifa.

"Lo beneran serius, ya?"

"Serius ga serius, tetep aja musti nikah. Jadi mending diseriusin, kali aja hasilnya jadi bagus, kan?"

Lathifa menautkan alis. "Kok gue kaya ga lagi berhadapan sama Laras, ya? Ini masih Laras yang sama, kan?" tanyanya. "Yang ngga mau banget punya anak karena ga mau ribet? Yang nolak lulusan terbaik FKUI karena ga ma diribetin sama suami?"

Tawa Laras meledak.

"Sekarang lo maen sama cowok yang udah bawa bayi?"

"Iya. Gue udah gila!" katanya di sela tawa yang berderai.

"Cerita, deh," pinta Lathifa sambil mencondongkan tubuh ke depan agar terlihat serius.

"Maaf, Dok. Ada Pak Bayu," Nina mengetuk pintu.

Laras tergesa keluar. Khawatir sesuatu terjadi pada Asha hingga Bayu harus menyambangi rumahsakit. "Kenapa? Asha sakit?"

"Iya, sakit malarindu. Rindu bobo di dada Mama, huhuhu."

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang