Jika ada yang bertanya kapan kesombongan mutlak akan terjegal, jawaban terbaiknya mungkin adalah ketika seseorang jatuh sakit. Itu yang dirasakan Budi saat ini. Dia lelaki yang punya segalanya. Kecerdasan jelas tak diragukan. Buktinya adalah predikat lulusan terbaik universitas tertua di Indonesia. Wajah pun bisa disandingkan dengan model papan atas. Entah sudah berapa kali dia menolak penawaran sebagai bintang iklan produk suplemen kesehatan. Soal uang tak usah ditanya, kedua orangtuanya dokter dan klinik bersalin milik sang ayah hanya tinggal menunggu waktu untuk berpindah tangan.
Satu-satunya alasan lelaki itu masih bertahan bekerja di rumahsakit milik orang lain hanyalah Laras. Gadis itu bukan miliknya di atas kertas, namun semua orang yang mengenal pasti akan mengira ada hubungan khusus antara Laras dan Budi.
Lalu kini tiba-tiba ada seseorang yang hendak mengambil Laras darinya. Orang yang jelas kalah kalau bertanding wajah. Meski Budi tak tahu apa pekerjaan sesungguhnya lelaki itu, namun bisa punya waktu hampir seharian bersama Laras, profesi yang paling mendekati mungkin adalah pengangguran.
Kemudian keadaan berbalik sedemikian rupa. Lelaki itu tanpa banyak bertanya menggendongnya tanpa istirahat hingga IGD. Itu sekitar 10 menit berjalan kaki ditambah menggendong beban seberat 60 kilogram. Budi sendiri tak yakin dia akan melakukan hal yang sama jika keadaannya terbalik.
Ketulusan Diana juga menambah hancur kesombongannya. Istri yang selama ini diabaikan ternyata ikut berlari penuh kecemasan menuju IGD. Harusnya dia bisa pergi saja atau membalas pengabaian selama sebulan ini. Tapi di sinilah ia berada. Di baris terdepan untuk menolong sang suami. Seperti yang dikatakan Bayu, jika terjadi sesuatu padanya, orang pertama yang akan dicari pastilah sang istri.
Budi susah payah menahan air agar tak mengumpul di pelupuk mata. Matanya harus beristirahat agar proses penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dokter Sapto mengatakan bahwa matanya mengalami trauma okuli. Kornea dan lensanya mengalami perlukaan. Meski dikatakan ringan, namun tetap saja ia diminta untuk bedrest demi observasi dan meminimalisir tekanan pada mata.
Ditutupnya mata dengan tangan seraya terus mengatur napas menenangkan diri. Laras masuk kamar perawatan disambut kode telunjuk di depan bibir dari Diana. Nyaris tanpa suara, diserahkannya tas tangan dan pesanan makan siang pasangan tersebut.
Suara kresek mengejutkan Budi. "Hai, thanks, Bro. Gue ga nyangka, lo beneran gendong gue sampe IGD," katanya mengulurkan tangan pada Bayu. Ia berusaha agar nada suara yang dikeluarkan terdengar santai. Padahal, malunya tidak tanggung-tanggung.
Bayu menerima uluran tangan itu dan berbasa-basi secukupnya. Dering telepon memaksanya untuk keluar kamar.
Sebuah telepon dari nomor tidak dikenal. "Halo, assalamu'alaikum," sapanya setelah mendekatkan speaker ke telinga.
"Wa'alaikumsalam, saya Herlina. Ini dengan Bapak Bayu? Yang tadi menanyakan tentang bebisitter?" terdengar suara seorang perempuan dari seberang sana.
"Ya, betul. Bagaimana menurut Bu Herlina?"
"Not recommended, Pak. Tadinya kita kira dia kerjanya bagus. Ngga cuma dedenya, rumah juga jadi rapi sama dia. Setelah tiga bulan kerja tau-tau mengundurkan diri. Sedih awalnya, tapi sekarang bersyukur, malah kalo bisa pengen nuntut itu orang!"
"Kenapa, Bu?"
"Pertama kalung sama cincin saya ilang, Pak. Tapi udah, sih. Saya ikhlasin aja. Yang ngga ikhlas, tuh soal dedenya, Pak. Dendam banget saya!"
Bayu mendengarkan dengan tangan gemetar.
"Ngga tahu dia cekokin apa bayi saya. Dokter bilang dia kecanduan obat. Kita blom tahu apa jenis obatnya. Kurang ajar banget itu orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
RomanceApakah kau dan aku akan menjadi kita setelah menikah? Hanya kita, aku dan kamu, tanpa dia. Laras, 2019