36. Penyangkalan

1.2K 139 37
                                    

Sepi sekali dalam mobil siang itu. Perjalanan menuju stasiun terasa dua kali lebih lama. Laras sengaja duduk merapat pada pintu. Kepalanya ditelekan pada kaca jendela. Sejuk embusan angin dari pendingin udara menyembur langsung ke mukanya. Dipejamkannya mata. Berharap saat terbuka nanti, dunia sudah berubah, rasa sakit telah menghilang. 

"Aku baru tahu kamu punya cerita sama si Guntur," Bayu berusaha memecah keheningan.

Posisi Laras tak berubah. Matanya masih terpejam. "Aku juga."

Melirik sebentar pada Laras, Bayu melanjutkan, "Maksudku, dia kan anak alim. Anak Rohis, kirain ngga bakal deket-deket sama cewek. Harom!" 

"Aku juga," lirih suara Laras nyaris tak terdengar.

"Maksudnya?"

"Aku dah lupa ada yang namanya Guntur," sambung Laras datar.

"Ngga mungkin! Masa kejadian kaya gitu kamu bisa lupa? Bukannya bikin klepek-klepek?"

Mata Laras masih belum membuka. Entah dia benar-benar tidur atau hanya pura-pura tidur untuk menghindari pembicaraan ini, Bayu tak bisa mengetahui. Namun aura beku bertiup di antara mereka. 

Dua tebing yang telah susah payah didekatkan Bayu kini seolah dilanda gempa dan terpisah jauh sekali. Seluruh kerja keras menjadi sia-sia. Laras tiba-tiba saja membangun tembok tinggi yang tak dapat dipanjatnya. 

Tigapuluh detik menjelang lampu lalu lintas menyala hijau. Bayu menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Berhadapan dengan perempuan ini seperti naik roller coaster, datar sebentar, naik tajam lalu turun dengan percepatan gravitasi bumi. 

Mobil masih belum terparkir rapi ketika Asha merengek karena terbangun. Sudah waktunya minum susu. Diliriknya Laras. Pulas tak bergerak. "Sebentar, ya Asha," kata Bayu, melirik kaca spion yang memantulkan bayangan Asha. Bayi itu masih aman tidur dalam car seat-nya di bangku belakang.

Setelah mematikan mesin, Bayu beralih ke kursi belakang untuk menenangkan Asha. Diciuminya bayi mungil yang sebentar lagi akan kembali ke pangkuan sang ayah. "Sebentar, ya, Papa bikinin susu."

Bayi manis itu minum susu dengan lahap. Manik matanya bergerak-gerak lucu menatap Bayu dengan lugu. "Ini mungkin terakhir kali Papa bikinin kamu susu," kata Bayu lembut. "Abis ini ayahmu yang bakal bikinin susu."

"Ayahmu pasti kangen banget sama kamu. Dia belum pernah liat kamu sejak lahir. Apa kamu kangen ayahmu? Kamu pasti udah banyak dengar suara dia waktu masih dalam kandungan, kan?" Bayu teringat dirinya sendiri yang kerap mengajak bayi dalam rahim Marini berbincang. 

Matanya menghangat. Dia memang harus menghentikan keegoisan ini. Tak adil buat Asha. Bayi ini bukan pengganti bayinya, bukan pula pengobat kerinduan pada Marini. Masa lalu memang indah untuk dikenang. Namun ada hal yang lebih penting dari mengenang masa lalu, yaitu membuat kenangan baru. Kenangan baru yang ingin dibuatnya bersama Laras. Tapi perempuan itu begitu sulit melangkah. Entah apa yang mengikat kakinya. 

Bayu menepuk pundak istrinya untuk membangunkan. "Udah nyampe," katanya.

***

Masih tak ada kata dari Laras. Dia berjalan seperti robot. Matanya menatap ke depan, entah ke mana. Dia ada di sisi Bayu, tapi tidak berada di mana-mana.

Dingin. Itu yang dirasakan Bayu. Pasti bukan karena pendingin udara yang berhembus dalam kereta. Digenggamnya tangan sang istri yang terkulai lemah di atas ransel. 

Mata Laras masih terpejam. Bukan tidur, hanya terpejam. Dia masih bisa merasakan jempol Bayu mengusap-usap punggung tangannya. 

Laras menarik tangannya, tapi genggaman Bayu terlalu kokoh. Saat itulah ia membuka mata. menatap kesal pada sang suami yang tak mau melepaskannya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang