Kata-kata Bayu pagi itu disimpan rapi dalam hati Laras. Bayu sendiri tampak tidak sadar tentang apa yang sudah diucapkannya. Laras pun enggan bertanya. Takut jawabannya malah menyakiti hati.
Dua hari berlalu, mereka masih trauma untuk menyewa bebisitter lagi. Asha diasuh tandem oleh Laras dan Bayu. Untung di umur semingguan, tak ada bayi yang benar-benar lasak.
Pagi hingga siang menjadi jatah Laras untuk mengasuh Asha. Setelah jam kantor berakhir, Bayu akan berdesakan di kereta demi mengambil Asha dari rumahsakit. Kemudian mengistirahatkan diri berdua di kamar kos Laras.
Sudah dua malam ini, Laras dengan ikhlas tidur di meja kerja. Memang tak bisa terlalu nyenyak, tapi tempat tidurnya sudah penuh diisi Bayu dan Asha. Sebenarnya Asha tak banyak mengambil tempat, namun posisi tidur Bayu selalu saja menguasai ruang. Satu kaki dan tangannya malah sampai terjuntai ke lantai karena terlalu pinggir memposisikan diri.
Pagi ini Laras terbangun dengan leher pegal lagi. Posisi tidur di meja memang tidak memungkinkan untuk mengistirahatkan leher.
"Nanti kamu bangunin aku aja kalo mau tidur," kata Bayu prihatin sembari memijat bahu dan pundak Laras.
Laras memejamkan mata. Pijatan Bayu enak juga.
"Tumben, tidurnya pake bra."
Kontan Laras membuka mata. "Apaan, sih!" Disikutnya perut Bayu sekuat tenaga. Lelaki itu terduduk di kasur seraya melepaskan tawa.
Asha terbangun. Suaranya dimulai dengan dengusan lembut sebelum meningkat jadi tangisan khas bayi.
"Assalammu'alaikum, Asha," sapa Bayu masih dengan sisa tawanya. "Udah bangun?" tanyanya sembari menggendong dan menciumi si bayi mungil. "Jemur, yuk."
Ini pagi ketiga Bayu membawa Asha ke teras untuk menikmati cahaya pagi. Dia menjadi terkenal di kalangan para gadis penghuni kos. Sebelum berangkat, mereka pasti menyempatkan diri menyapa bayi mungil itu. Sekadar melambaikan tangan atau berbasa-basi sedikit sambil mencubit pipi gembilnya.
Sementara Asha berjemur, Laras menyiapkan air hangat untuk mandinya. Rutinitas baru ini ternyata bisa menyenangkan juga.
Memandikan, memakaikan pakaian, kemudian menyusui. Mereka berdua mengerjakan pekerjaan rutin ini sebagai satu tim yang kompak. Tugas-tugas seolah sudah terbagi tanpa perlu dimusyawarahkan sebelumnya.
"Hari ini Asha ikut kamu, ya?" pinta Laras di sela suapan nasi uduk.
"Hm? Boleh. Kenapa? Udah mulai capek, ya?"
"Bukan, aku ada dua SC pagi ini."
Bayu mengangguk. "Aku mau jenguk Mami nanti sore. Sekalian katanya ada yang mau lihat rumah."
"Kenapa rumahnya?"
"Mau dijual. Kita beli yang baru di sini. Ga mungkin, kan ngasuh anak di kamar sekecil ini?"
Laras terdiam. "Serius mau jual rumah?"
"Seriuslah." Bayu meremas bungkus nasi uduk hingga jadi satu bulatan. "Kenapa emang?"
"Hmm." Laras memikirkan kata yang tepat untuk dilontarkan. "Kita kan belum tentu bakal lama."
"Maksudnya?" Bayu urung melemparkan bola kertasnya ke dalam keranjang sampah.
"Yah," berhenti sebentar lagi, memilih kata-kata yang tidak akan menyakiti. "Kondisi Mami, kan begitu. Yah..."
Bayu mengernyit. "Maksudnya?"
Laras berdeham. "Kamu mau nikah demi Mami, kan? Kalo nanti Mami udah ga ada, apa kamu..."
"Kamu masih nikah demi Mami?!" Bayu mati-matian menahan volume suaranya agar tidak membangunkan Asha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
عاطفيةApakah kau dan aku akan menjadi kita setelah menikah? Hanya kita, aku dan kamu, tanpa dia. Laras, 2019