Klaim

7.2K 916 123
                                    

"Kupikir kita perlu ke tukang sihir." Entah gagasan dari mana, Wonwoo tiba-tiba mengucap kalimat itu setelah suapan terakhir makan malamnya. Sumpit di tangan Mingyu turun seketika, menghentikan pergerakan sang alpha yang hendak mengambil acar di piring. "Aku tahu sihir itu ilegal, tapi aku hanya penasaran pada bayi itu. Apakah benar bayi itu milikmu?"

"Wonwoo-" Kalimat itu terlebih dahulu tersendat akibat tubuh Wonwoo yang tampak beranjak dari meja makan kecil di tengah kamar asrama. Menjauh dari sana menuju wastafel untuk mencuci beberapa piring bekas makan malam.

"Aku sudah menduga kau tak akan setuju. Namun sudah aku bilang, Jisoo-noona sangat mencurigakan, Mingyu." Tangannya masihlah penuh busa saat Mingyu berhasil membalikkan tubuh kurusnya, menuntut secara sepihak agar mempertemukan pandangan mereka. "Ditambah keterdiaman Sohee yang membungkam penuh mulutnya hingga hari ini. Apa menurutmu ini wajar?"

"Aku tahu, aku juga tidak percaya. Tapi cara ini sangat beresiko, aku tak ingin kau tersakiti. Kita bisa cari cara lain yang lebih aman," jelas Mingyu dengan suara yang berusaha tak menekan Wonwoo. Jujur, dia sedikit marah terhadap ide betanya tadi.

"Kau menolak menghamiliku, lalu sekarang perihal ini juga. Apa yang bisa kita lakukan lagi? Menunggu bayi itu lahir? Kau pasti akan lebih dulu meninggalkanku untuk menikahinya." Untuk kali pertama Wonwoo berteriak pada alphanya. Terlalu frustasi hingga emosinya meledak begitu saja. Rasanya tangis bahkan sudah tidak berguna.

Masalah ini benar-benar memojokkan keduanya. Baik Mingyu maupun Wonwoo tidak bisa bergerak kemanapun selain menerima dan menunggu bayi itu lahir, yang mana akan menghantarkan mereka ke lembah perpisahan. Karena dalam proses menunggu itu, pasti keluarga korban meminta Mingyu untuk menikahi Sohee secepatnya.

Sial, jika begitu Wonwoo akan mendapat patah hatinya yang kedua.

"Pasti ada satu cara untuk menghentikan ini. Tapi bukan dengan sihir, pun dengan aku menghamilimu. Aku tidak akan pernah menyakitimu, jadi tolong bersabarlah sebentar lagi, Hyung."

"Tunjukan padaku, kau tahu pasti bagaimana sifatku."

.

Tubuh Mingyu lantas ikut berbaring di sebelah Wonwoo. Masuk ke dalam selimut yang juga digunakan betanya untuk melindungi diri dari dinginnya malam. Kemudian, mata sang alpha melirik punggung kurus itu. Menatap khawatir Wonwoo yang tidur membelakangi dirinya.

Tentu, ada keinginan besar untuk memeluk tubuh Wonwoo. Memberikan kehangatan yang ia harap mampu menenangkan keduanya. Namun, ia memilih diam. Hingga tak sadar sang beta membalik badan. Hendak berucap sesuatu setelah yakin atensi keduanya bertemu di titik yang sama.

"Kau merokok lagi?" Manik itu tampak menajam di balik sinar rembulan yang sedikit memberi penerangan di dalam kamar. Seketika Mingyu terkesiap, senyumnya perlahan terbentuk bersamaan dengan kerutan di dahi Wonwoo yang semakin terlihat jelas setiap garisnya.

"Hanya satu batang, maafkan aku." Lantas, terdengar helaan nafas dari sang beta. Tubuhnya terangkat, lalu meraih kepala Mingyu untuk ia dekap.

"Jadi, tembakau itu masih menjadi kesayanganmu? Padahal kau bisa memintaku ketika mulutmu gatal." Mingyu terkekeh, Wonwoo jelas tengah merajuk sekarang.

Dan tadi itu benar-benar menakjubkan. Sebab, ia merasa Wonwoo tengah menggodanya.

"Apa maksudmu?" Pura-pura bodoh, Mingyu pun menunggu aksi selanjutnya dari sang beta. Dan benar saja, mulut Wonwoo seketika terbuka untuk mengesap bibir bawah alphanya. Memejamkan mata meresapi setiap detik pertemuan dua benda tak bertulang itu perlahan-lahan.

"Bau nikotinnya membekas di mulutmu." Mingyu hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah betanya. Lantas mencuri ciuman lain yang mulai membawa mereka ke jenjang yang berbeda. Lebih intim dan berhasil menebalkan feromon keduanya.

Sense | MEANIE ABO AU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang