Titik

5.9K 908 114
                                    

Apapun kalimat yang keluar dari mulut Wonwoo, seringkali itu merupakan bentuk dari gumpalan kegelisahan. Dan deretan kalimat pertanyaan itupun berakhir menjadi titik diam bagi sang alpha. Ia berpikir, apakah sang beta benar-benar putus asa? Atau pertanyaan itu malah hanya sebuah candaan semata?

Maka, Mingyu pun menghentikan pergerakan tangan Wonwoo yang saat itu masih sibuk mencukur rambut-rambut dagunya. Memberi beberapa detik jeda sebelum pertanyaan balasan ia lontarkan.

"Apa dengan kau hamil masalah ini akan selesai begitu saja, Beta? Bagaimana dengan masa depanmu?" Jemari Wonwoo mengerat. Semakin kalut saja hatinya ketika semua kemungkinan tiba-tiba menelusup diantara pikiran dangkalnya. Ia terkesiap, baru sadar jika masalah lain mungkin akan terbentuk sebagai hasil tindakan pikiran pendek sang beta.

"Hari itu aku menahannya Wonwoo, aku... sesungguhnya aku ingin melakukannya namun aku memikirkanmu, masa depanmu. Dan sekarang-"

Tak bisa melanjutkan, rasanya lidah Mingyu kelu seketika.

Memang nyatanya Wonwoo tengah putus asa sekarang, rasanya rumit sekali. Ia kira memiliki mate adalah akhir dari semua drama yang berlangsung di dalam kisah percintaannya. Bodohnya dia, bahkan sebelum Wonwoo masuk ke dalam hidup sang alpha. Mingyu sudah menjadi incaran semua orang. Terlalu menonjol, begitu berbeda dengan Wonwoo yang hanya seorang beta dan tidak sepatutnya Wonwoo menganggap remeh semua orang yang mengincar Mingyu selama ini.

"Aku hanya... "

"Pikirkan baik-baik. Kau memang milikku, tapi aku tak mau menjadi penghalang bagimu." Salah satu jemari milik sang alpha menyeka singkat sudut mata Wonwoo yang telah berair.

Lantas jeda itupun terjadi lagi. Tak acuh, Wonwoo malah lebih memilih kembali membersihkan sisa busa yang masih menempel di antara dagu dan leher.

Pertanyaan yang sesungguhnya hanya berisi keputusasaan itu bagaikan jurang, buntu. Ia tidak berpikir apapun kala mengatakannya. Dia sudah kepalang frustasi.

"Aku menyukaimu."

Sebuah kalimat rayuan yang terasa timpang muncul dari mulut sang beta. Mingyu tahu betul betanya asal bicara, dan rayuan barusan terdengar seperti pengharapan agar perkataannya beberapa menit lalu dianggap tidak pernah terjadi.

"Aku menyukaimu, Mingyu."

Sekali lagi terucap, kali ini dibarengi dengan sebuah kecupan putus asa yang masih saja berupaya menyogok Mingyu untuk lupa. Mingyu pun hanya bisa tersenyum. Tak sanggup untuk membahasnya lagi.

Hari-hari mereka masih terlalu panjang, jika pertengkaran terjadi pagi ini, kepalanya mungkin akan meledak karena masalah berutun yang menyerang. Dan sudah cukup kepenatan ini kembali datang setelah mereka berdua mengalami insomnia semalaman.

Lantas surai yang lebih tua Mingyu usap pelan sebagai jawaban. "Aku akan mengatasinya, aku telah berjanji padamu."
.

Pagi yang cukup melankolis berubah seketika saat beberapa orang datang ke kediaman Mingyu. Biasanya Wonwoo lebih pintar dalam menahan diri, kelas aktingnya di teater benar-benar membantunya untuk bersikap tenang dalam situasi apapun. Namun, salah satu tamu yang datang disana mendadak mampu menghentikan langkahnya. Netranya terpaku ditempat, bahkan Mingyu menoleh ketika dirasanya sang mate berhenti bergerak.

"Ada apa?"

"Aku izin ke belakang, aku ingin ke toilet. Maafkan aku." Tanpa menunggu jawaban, Wonwoo berbalik arah. Pergi begitu saja menuju toilet terdekat. Mengunci pintunya, lalu kembali kalut diatas bidet.

Masa lalu. Sungguh, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan kenangan zaman dulu, Wonwoo sadar betul. Namun, sesuatu yang baru ia lihat beberapa saat sebelumnya sudah seperti sebuah film lama yang kembali berputar di dalam otak.

Sense | MEANIE ABO AU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang