Hari Minggu. Hari dimana Hanna menjadi babu seharian penuh. Bukan jadi ratu sehari. Hari Minggu bukanlah hari untuk bersantai-santai apalagi pergi main ke sana-sini. Boleh. Tapi tidak semudah itu untuk Hanna. Pokoknya bersih-bersih dulu. Baru dapat lampu hijau buat main dari mamanya.
"Hanna, itu dipel dulu terasnya."
"Iya."
"Hanna, udah dicuci belum seragamnya? Sama sepatunya juga."
"Udah."
"Hanna, ruang tengah udah disapu belum? Kok masih kotor?"
"Udah. Sapunya udah tua makanya rambutnya rontok jadi gak bisa bersih lantainya."
"Hanna, ambilin tahu di kulkas dong! Mau Mama goreng tahunya."
"Iya."
"Hanna, kucingnya udah dikasih makan belum? Kok masih ngeong-ngeong? Ini ngrecokin Mama masak nih."
"Sudah, Ma."
"Hanna, udah cuci piring belum?"
"Sudah, Yang Mulia."
"Bagus. Anak Mama emang rajin. Sekarang mandi biar makin cantik."
Ini hal terberat buat Hanna.
Mandi pagi di hari Minggu itu sulit. Mandi pagi hanya dilakukan pada saat mendesak saja. Mau bepergian contohnya. Hari Minggu itu jadwal mandi sekali. Ya, Hanna emang gitu. Gak serajin cewek-cewek di luar sana yang pagi-pagi udah dandan menor pakai lipstik buat main.
Dia bersih-bersih, membantu mamanya ini-itu juga untuk berlatih supaya bisa mandiri saat sudah berumah tangga nantinya.
Setelah selesai, Hanna tiduran manja di kasur depan tv. Dia ngejawab mamanya dengan nada malas. "Gak mau, Ma. Nanti sore aja."
"Kamu ini. Udah perawan, udah gadis, udah gede juga. Urus diri sendirilah." kata mamanya Hanna yang lagi ngegoreng tahu di dapur.
"Aku emang masih perawan, Ma." lirih Hanna terus nguap abis gitu tidur lagi.
Mamanya Hanna yang udah selesai masak, jalan ke ruang tengah yang niatnya mau manggil Hanna buat makan. Tapi, begitu liat anaknya yang udah tidur cantik, mamanya Hanna cuma senyum tipis.
"Anak Mama udah gede ternyata. Semoga gak digangguin terus ya, sayang."
***
Acara tidur gue ke ganggu. Gara-gara ada yang noel-noel pipi gue. Ngelus rambut juga nusuk-nusuk pipi gue pake jari tanganㅡyang entah punya siapa.
Awalnya, gue mau tetep tidur aja. Tapi gak bisa begitu gue ngerasain badan gue dipeluk sama seseorang. Laki-laki yang pasti. Dari bau parfumnya gue tau ini siapa. Gue ngedongak terus liat dia yang meluk gue sekarang ini.
"Udah bangun?" tanyanya dengan suara bias yang berat. Dan gue suka itu. This is one of my favorite voices.
Dia natap gue sambil nunduk. Gue yang ngedongak ngeliat mukanya dia cuma senyum terus ngangguk. Gue makin ngeratin pelukan. Dadanya yang bidang emang pas banget buat sandaran. Nyaman banget.
"Kamu kemarin mimpi gimana?" tanya Arga kemudian.
"Hm." gue berdehem pelan. "Mimpi ada dua cewek yang mau ngebunuh aku."
"Beneran?" tanyanya kaget. "Terus suara cowok itu gimana?" tanyanya lagi sambil ngusap kepala gue.
Begitu denger kata cowok itu, gue langsung keinget sama yang diomongin si cewek yang kemarin nemuin gue di kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Invisible
Fanfic[ Ft. Jeon Wonwoo ] Hanya cerita seputar kehidupan gue, tentang dia yang tak terlihat, and someone who's none other than the most important part of my life. 2019, nanalalunaa.