14. Ega words

992 184 3
                                    

Foto tadi, video tadi, semuanya berputar begitu saja dalam pikiran Hanna. Terasa sesak menyesakkan. Hanna just thought that the first kiss Arga did would've been done to Chelsea. Oke, mari garis bawahi kalau masalah cium mencium Arga udah pernah. It's just not on the lips. Udah dibilang dari awal, kalau minimal hanya pipi sama kening. Gak lebih.

Sakit. Dadanya Hanna terasa sakit. Masih dengan kedua bibir yang bertaut, Hanna mengepalkan ke dua tangan. Air matanya udah ngalir banyak, dia bingung mau gimana.

Not that when Erga kissed Hanna it wasn't broke. Tentu aja kerasa sakit. Tapi, kali ini yang ngelakuin Arga. Yang notebennya pacar sendiri, tapi reaksi tubuh malah lebih luar biasa sakit. Hanna cuma merasa gagal. Pertama, dia udah yakin banget kalau emang bakalan sama Arga. Makanya jauh di lubuk hatinya emang Hanna cuma pengen Arga yang ngelakuin pertama kali. But, it was Erga who stole her first kiss.

Tapi, mau bagaimana lagi? Semua udah terlanjur. Tautan terlepas. Hanna bener-bener nangis sampai segitunya. Dia masih setia memejamkan mata.

"Maaf." parau Arga.

Hanna menggeleng pelan. "Gak papa. Nggak salah kok."

Selanjutnya yang terjadi, Arga menarik Hanna ke dalam pelukan. Mendekapnya erat. Begitu pula Hanna, dia membalas pelukan Arga. dia lupa sama seseorang yang sedang menatapnya dari kejauhan dengan kedua tangan yang terkepal.

Sedetik kemudian, orang itu pergi dari tempat dimana dia menyaksikan pertunjukkan yang menurutnya sangat menjijikkan.

***

Dengan langkah kesal dan terburu-buru, Erga masuk ke dalam rumahnya. Membanting pintu utama lalu berlari naik ke lantai atas, tepatnya masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Ega yang ngelihat tingkah aneh adiknya itu cuma mengernyit heran. Dengan langkah yang berat hati karena memang sekarang Ega lagi ngelihat siaran di televisi, dia berniat nyamperin adiknya. Ega naik ke lantai atas lalu mengetuk pintu.

Gak ada jawaban.

Ega mengulanginya lagi.

Tetap gak ada jawaban.

Lalu, dengan helaan napas kasar, Ega memutar knop pintu dan masuk ke dalam kamarnya Erga. Lagi-lagi begitu dia masuk, dia menghela napas kasar berulang kali. Ya, gimana nggak? Erga tuh orangnya gimana, ya. Kalau di rumah emang persis anak kecil gitu, beda banget kalau udah di luar sebelas dua belas sama kutub utara.

See? Erga lagi tengkurap di atas kasur sambil menenggelamkan wajah di bantal minion warna kuning.

Memutar kedua mata malas, Ega menutup pintu lalu mendekat ke ranjang. Dia memukul pantat Erga. "Kenapa kamu?"

"Bangsat."

"Mulut." Ega mendesis. "Kalo kakak nanya itu dijawab."

"Kenapa sakit?"

Ega memincingkan mata. "Kamu abis liat apa?"

"Itu. Hanna, kiss, same, her boyfriend." pelannya sampai berubah jadi bisikan.

Ega yang masih bisa mendengarnya itu mencoba menahan tawa. Apa-apaan ini. "Apa salahnya coba?"

"Salah, anjing."

"Marah?"

Erga yang merasa diledekin terus-terusan sama kakaknya, beringsut duduk. "Sakit. Aku udah berusaha ngelindungin dia. Dari kejauhan tuh susah."

The Invisible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang