24. He's not fine

1K 169 15
                                    

Hari ini, gue udah resmi bukan lagi pacarnya Arga. Buat beradaptasi sama keadaan yang baru, gue akui amat susah. Seolah gue berada di lingkungan yang asing, bahkan pas bangun tidur pun terasa beda. Biasanya dia yang selalu berisik nelpon kalau gue telat bangun.

Susah buat menghilangkan kebiasaan bareng dia. Berasa gue hidup perantauan jauh dari orang tua yang harus mandiri. Terkesan berlebihan tapi ini yang gue rasain. Gue harus terbiasa gak ngelihat Arga, yang biasanya hampir dua puluh empat jam ngelihat mukanya mulu.

Bukan hal yang mudah buat gue gak mikirin dia barang sedetik pun. Karena, memang hampir semua aktivitas gue dulu selalu bareng sama Arga. Entah ke kampus atau sekedar main kemana gitu. Di rumah juga sama dia, ngapa-ngapain sama dia. Kecuali hal pribadi gue. Oh, iya. Soal barang-barang yang dia kasih, gak bakal gue buang.

Karena, buat apa?

Toh, gue kan gak ada niatan mau membenci dia. Jadi, gak perlu membuang barang yang dia kasih. Kalau gue buang sama aja gue gak menghargai dia. Simpen aja, di lemari, kunci rapat, jangan di buka.

Udah, gitu aja.

Terhitung sampai hari ini juga, gue semakin deket sama Erga. Dia menggantikan posisi Arga. Dia melakuka  apa yang biasanya dilakuin Arga. Jujur aja, mereka berdua hampir mirip dari segi sikapnya. Sama-sama soft ke gue. Sabarnya minta ampun.

Cuman kalau Erga emang lebih irit kata dibanding Arga. Maksudnya, gak begitu cerewet kayak Arga. Dia lebih langsung ke poin inti pembicaraan.

Seperti sekarang, dia lagi duduk di kusir kemudi. Hari ini gue masuk, dia gak ada jam katanya. Makanya cuma nganterin aja.

"Aku gak nganterin doang kok."

Oh, Tuhan.

Jangan membatin, Hanna. Jangan membatin tentang dia. Dia itu selalu tahu apa yang lo pikirin. Walaupun dalam hati.

"Aku mau nungguin kamu. Sekalian masih ada tugas yang belum aku selesaiin."

"Mau pinjem buku?"

"Iya." jawabnya. "Kan, udah mau lulus juga. Jadi, ya nikmatin masa-masa di kampus."

Gue manggut-manggut doang.

Ngomong-ngomong tentang kuliah, puji syukur berjalan lancar walaupun banyak kendala hidup yang beberapa pekan ini terus datang bergiliran. Karena gue percaya, Tuhan gak akan ngasih ujian kepada umatnya di luar batas kemampuan.

Semua orang pasti mampu menghadapi berbagai ujian hidup. Gue mampu menghadapi ini semua, kan? Sebentar lagi gue juga mau lulus. Tinggal mengurus beberapa hal dan bebas. Mau bebas juga dari lingkup yang kebanyakan ada kenangan gue sama Arga. Mau keluar dari zona nyaman yang dia buat. Harus.

"Kamu gak turun?"

"Hah?"

"Kamu gak mau turun?" katanya sambil melirik keluar. "Udah sampe."

"O-oh. Udah sampe, ya?" kikuk gue sambil menunduk menatap layar ponsel. Sekalian ngaca, sih.

Erga terkekeh pelan, dia mengusap kening gue. Lalu, membenarkan beberapa helai rambut gue yang berantakan.

"Na?"

"Iya?"

"Lakuin hal yang kamu seneng." ucapnya dengan nada super tenang. "Jangan mikirin apapun. Aku di sini."

Gue senyum tipis. "Iya, pasti."

Masih ada ternyata manusia sebaik dia. Maybe, not yes I can give my heart to, Erga? Karena, sejujurnya selama ini gue gak punya perasaan apapun ke dia. Gue cuman menganggap dia teman. Gak lebih.

The Invisible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang