27. Jeffrey and his ignorance

1.1K 186 11
                                    

Setelah kejadian kemarin yang sangat mengejutkan itu berhasil membuat gue mengurung diri di kamar. Menatap ke jendela, sambil melamun. Emang paling enak banget deh kalau ngelamun. Walaupun, pikiran gue terus berputar memikirkan apa yang sekarang ini jadi permasalahan gue.

Ditanya kenapa, ya karena lamaran Erga. Gue gak tahu harus bersikap sedih atau senang. Bimbang, gue bimbang banget. Asli, gak bohong. Gue bingung harus bereaksi gimana sedangkan orang lain yang melihatnya aja merespon dengan kebahagiaan.

Sedangkan gue?

Gue butuh waktu. Bener-bener butuh waktu. Bukan karena gak serius sama Erga. Gue serius, kok. Tapi, kalau dipresentasikan emang belum genap seratus persen. Kalian pasti paham alasan gue kenapa bisa kayak gini.

Gue tegaskan terserah kalian mau berasumsi kayak gimana tentang gue.

Karea jujur aja, jauh dari lubuk hati yang paling dalam gue masih punya harapan kecil bisa balik kayak dulu lagi sama Arga. Terkesan bodoh emang, tapi emang gitu nyatanya.

Iya, gue emang masih marah sama semesta. Ini gak baik emang. Tapi, percaya aja. Ikhlas itu susah banget dilakuin. Diucapin emang gampang. Tapi, kalau untuk sikap sebagaimana ikhlas yang sebenarnya itu susah. Gue masih merasa marah dan bertanya-tanya kenapa harus gue yang menerima semua ini.

Gue masih punya harapan kecil kalau Arga yang seharusnya bersama gue. Seperti apa yang gue impikan sama dia. Seperti apa yang udah gue sama dia rencanakan dan disusun bersama-sama.

Jiwa dan raga gue belum siap untuk saat ini. Ada rasa trauma yang gak bisa gue jelaskan.

Tok. Tok.

"Dek?"

Tok. Tok.

"Na?"

Gue yang lagi asik melamun tersentak begitu ada suara yang menelisik pendengaran. Gue menoleh ke arah pintu kamar. Lalu, menjawab seadanya.

"Ya?"

"Kakak boleh masuk?"

Dari dalam sini gue mengangguk. "Boleh."

Kak Jef masuk dan menutup pintunya lagi. Posisi gue sekarang ini duduk di tepi kasur, dia juga ikutan duduk di samping gue.

"Kenapa?" celetuknya pas banget dia baru duduk langsung mode on itu mulut.

"Hm?" gue berdehem menyahut. "Apanya yang kenapa?"

"Jangan bohong. Kakak gak suka." ujarnya langsung ke inti. Emang, ya. Yang namanya Jeffrey tuh suka kelewatan sifat pekanya. Di sisi lain bikin seneng, sih. Tapi, ngeselin juga.

"Cerita, atau kakak marah." ancamnya.

Gue menghela napas lalu menatapnya lempeng. "Nggak ada apa-apa yang mau kuceritain, kak. Apa yang perlu aku bilang?"

"Oh, ya?" sahutnya remeh. "Ya udah, kakak tunggu di sini. Sampe kamu mau cerita." sahutnya. Dia menyamankan posisinya sekarang. Kak Jef bersila di hadapan gue dan meluk guling yang ada.

Mau gimana lagi? Kalau udah gini juga susah mau mengelak dari topik. Jeffrey Alanta itu kalau udah nyuruh harus segera diturutin. Kalau nggak, ya pahamlah gimana nanti.

Manusia yang depannya kelihatan lemah lembut. Di depan gue boro-boro, mandang gue aja kayak babu pasti.

"Cepet."

"..."

"Oke, malem ini kakak tidur di sini aja."

Gue yang mendengar itu langsung mengernyit heran. Apa-apaan mau tidur di sini. "Ih?" seru gue heboh. "Gak boleh!"

The Invisible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang