Tepat pukul setengah sepuluh malam. Arga pulang. Sebenernya Mama sama Papa udah pulang dari jam delapan. Tapi, Arga masih pengen main lagi makanya pulang larut.
Gue yang udah gak ada temen ngobrol lagi, akhirnya lebih milih masuk ke kamar. Gue rebahin badan ke kasur. Enak banget, sumpah. Empuk, anget, dingin gitu.
Gue cuma natap kosong langit-langit kamar yang warnanya biru muda. Awalnya gak ada apa-apa. Tapi, begitu gue tatap terus itu langit-langit kamar, kayak ada yang aneh. Warna biru muda berubah jadi hitam. Ngebentuk suatu bayangan. Gue tatap terus sampai jeli banget.
Akhirnya, gue nyadar. Bayangan yang dibentuk adalah wajah bayi. Gue yang liat bayangan itu langsung senyum tipis. Si bayangan juga senyum ke gue.
Random banget, tapi lucu.
Begitu gue kedip dua kali, bayangan itu berubah lagi. Sekarang warnanya berubah jadi merah. Gue suka warna merah. Tapi, kalau bayangan yang warna merah gitu bikin gue takut. Kayak ngasih tanda yang buruk.
Walaupun takut, gue tetep beraniin diri buat ngeliat. Bayangan itu kayak diaduk-aduk gitu. Dan, akhirnya ngebentuk lagi tapi sosok cewek lebih kayak keㅡkuntilanak gitu, sih. Rambutnya panjang. Dia senyum pepsodent gitu. Tapi gak ada cantik-cantiknya lah, ya.
Bayangan berubah lagi. Sekarang warnanya putih. Kayak awal tadi, bayangan diaduk-aduk. Kali ini bayangan itu perlahan membentuk wajah seorang laki-laki. Wajah yang raut mukanya tegas ditambah ekspresi datar yang tertera. Bayangan ini ngeliat gue tajam. Seolah mengintimidasi.
Makin gue liat, bayangan cowok ini tuh lucu gitu. Ganteng soalnya. Setelah beberapa menit saling pandang, cowok itu senyum tipis ke gue. Gue juga ikutan senyum. Dia diem. Tapi, gue denger suara bisikan.
"Hai."
Gue celingukan sendiri begitu denger suara bisikan.
"Liat ke atas."
Gue nurutin tuh suara. Bener banget. Begitu gue liat atas, bayangan cowok tadi makin senyum lebar. Sumpah, ganteng banget.
Gue nyoba komunikasi sama dia. "Yang nolong gue, ya?"
Dia cuma diem. Tapi suara bisikan itu terdengar lagi, bahkan lebih jelas. "Iya,"
"Makasih, ya? Gue gak tau kalau gak ada lo gue kayak gimana."
"It's become my duty, beautiful."
Gue yang dipanggil gitu jadi salting sendiri. Inget Arga. Inget Arga. Inget Arga.
"Nama kamu siapa?"
"Mau tau?"
Gue mengangguk pasti.
"Penting?"
"Y-ya penting, sih."
"Beneran mau tau?" tanya cowok itu yang gue rasa pertanyaan gue tentang nanyain namanya tuh terlihat salah banget. Dilihat dari senyumnya yang mulai luntur yang kini diganti dengan tatapan seperti awal tadi menambah kesan pasti gue bahwa dia emang gak suka terkait namanya sendiri.
Dingin. Suhu ruangan di kamar gue semakin dingin.
"Ya, mau."
"Jangan kaget."
"Ngapain kaget?"
"Ya, jangan kaget."
"Siapa-siapa? Kasih tau aku coba," bujuk gue sambil merubah posisi jadi duduk.
"Santai, nggak usah pake suara batin. Aku juga denger."
Gue nunduk sambil mikir. Berarti dia bukan itu atau semacamnya dong? Ya, secara kan gue cuma bisa lewat batin kalau komunikasi sama itu dan kawan-kawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Invisible
Fanfiction[ Ft. Jeon Wonwoo ] Hanya cerita seputar kehidupan gue, tentang dia yang tak terlihat, and someone who's none other than the most important part of my life. 2019, nanalalunaa.