17. It's still me, Arga

860 156 42
                                    

"I'm so sorry. Gue gak sadar, Chels."

"Kalau aku..."

"..."

"Lo tau kan ini fatal?"

"Gue bakal tanggung jawab."

Demi apapun, gue gak tega. Bukan gak tega sama Chelsea, tapi gue gak tega sama Hanna yang selalu ceria padahal gue udah ngelakuin hal keji. Sebisa mungkin gue menutup rapat-rapat, gue sembunyiin, gue rahasiain dari Hanna.

Karena apa? Alasan sederhana. Gue gak mau kehilangan Hanna. Gue gak mau kehilangan orang yang paling gue sayang setelah Mama. Gue gak mau kehilangan lagi.

Ya, walaupun bangkai yang disembunyiin pasti tercium juga bau busuknya.

***

Saat itu, gue sama Chelsea udah saling mengikat janji buat gak ganggu satu sama lain semisal apa yang gue dan Chelsea takutin gak bakalan terjadi. I hope she's not positive, dan dia berharap gitu juga.

Gue sendiri gak begitu tahu apa permasalahan yang dia hadapi. Tapi, intinya dia anak broken home seperti yang gue bilang tadi. Sama seperti yang diomongin orang-orang, dampak dari orang tua yang toxic emang ke anaknya. Ayah sama ibunya berantem, saling main fisik, saling nampar, mukul, mengumpat, dan hal kasar lainnya. Itu yang dia ceritain dan gue juga gak begitu ingat apa aja yang dia bilang.

Karena ya, waktu itu gue mabuk. Saat itu gue pulang dari club pukul tujuh pagi, sampai rumahnya Papa semua pada riuh. Sanak saudaranya Diana juga khawatir. Gue yang dateng cuma acuh terus ambil beberapa baju yang emang selalu gue bawa di mobil. Saat itu gue tinggal di rumah Papa karena emang awalnya mau tinggal di sana untuk beberapa hari bahkan Papa mintanya untuk beberapa bulan.

"Aku mau pulang,"

Papa ribet sendiri. Papa ngikutin gue yang jalan ke lantai atas, tepatnya ke kamar yang disediain buat gue. "Kok mau pulang? Kan, baru kemaren dateng."

"Capek, Pa. Ada makalah sama proposal yang belum aku kerjain, besok juga presentasi. Aku mau pulang aja."

Papa tetep aja maksa kayak pas nelpon gue, tapi kali ini giliran gue yang maksa. Bohong sebenernya, gue pulang buat nemuin Hanna dan nyenengin dia. Gue mau ngajak dia jalan, pokoknya gue mau sedikit ngehilangin rasa bersalah ini. Sedikit aja, karena sampai kapanpun gue tetep merasa bersalah. Walau kenyataannya keadaan gue saat itu emang lagi gak sadar.

Papa menghela napas. "Ya udah. Hati-hati, ya."

Gue yang waktu itu udah duduk di mobil cuma manggut-manggut. Papa masih berdiri di samping pintu mobil yang belum gue tutup. Papa menyodorkan amplop berwarna putih. Gue yang sadar itu apa langsung geleng. "Gak, Pa. Yang kemaren masih banyak."

Papa juga menggeleng balik. "Nggak papa. Ini buat kamu, sana buat jajan sama Hanna. Lagian Papa juga baru gajian, kok."

Gue senyum tipis.

Setelahnya Diana jalan menghampiri gue. Dia menyodorkan kotak bekel. "Ada ayam goreng pedes manis kesukaanmu. Dimakan, ya?"

Seketika itu rasa bersalah gue makin membuncah. Gimana enggak? Gue langsung keinget Hanna, dia yang seneng masakin gue ayam goreng.

The Invisible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang