Bab 9: Kehilangan

1.1K 45 0
                                    

"Lya mana, Umi?"

....

"Mau kemana?" tanya Adra.

"Mau ke warung Umi," jawab Ilya.

Adra, perempuan paruh baya yang sudah menjabat sebagai ibu kandung dari Bayu, sejak Bayu masih di dalam kandung. Walaupun usianya sudah menginjak setengah abad. Namun, aura kecantikan yang dipancarkannya, masih ada hingga sekarang.

"Bayu mana?" tanyanya sekali lagi.

"Bayu ada di kamar Umi, badannya panas. Lya titip Bayu dulu ya Umi, Lya mau ke warung, takutnya Bayu nyariin," pinta Ilya.

"Iya, hati-hati ya Lya, nanti Umi kasih tau ke Bayu."

Ilya tersenyum manis dan mengangguk. Ia berlalu meninggalkan Adra menuju warung yang tak jauh dari rumahnya, hanya berjarak beberapa petak rumah dari rumahnya. Ilya berjalan dengan langkah penuh semangat, untung saja gaun yang ia pakai tergolong gaun simpel. Kalau menurut banyak orang si lebih cocok menjadi pagar ayu dari pada menjadi pengantin.

Ilya mendengar sebuah mobil berhenti di belakangnya, Ilya tak menghiraukan mobil itu dan terus berjalan. Tanpa disangka dari arah belakang sebuah tangan kekar membekap mulutnya. Sapu tangan yang digunakan ternyata mengandung obat bius.

Ilya tak sempat menepis tangan itu, obat bius sudah terhirup. Gelap semua gelap, Ilya tak bisa melihat apa-apa lagi, secercah cahaya pun sudah tidak ada lagi.

****

Bayu membuka mata mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak nampak seorang pun di sana, jam sudah menunjukan pukul 15.30. Setengah jam berlalu, tetapi Ilya belum juga muncul.

Bayu memutuskan untuk mencarinya keluar kamar, walaupun dalam keadaan yang masih belum stabil, tapi ia tetap memaksakannya. Siapa tau saja Ilya sedang membantu Bundanya menyiapkan makanan untuk makan malam nanti.

Semua orang masih berlalu lalang. Namun, Ilya masih tak tampak batang hidungnya. Hanya ada beberapa kerabat yang baru saja datang. Bayu pun mendapati Uminya yang sedang berbincang-bincang dengan sanak saudara. Ia menghampiri Adra dengan langkah gontai.

"Umi," panggil Bayu.

"Eh anak Umi udah bangun." Adra memegang kening putra sulungnya itu, suhu badannya sudah dapat dikategorikan normal, walaupun masih dalam keadaan hangat.

"Lya mana, Umi?" tanya Bayu.

"Tadi katanya si ke warung, tapi udah dari tadi juga."

Bayu hanya mengangguk walaupun dirinya sedikit khawatir dengan keadaan Ilya. Namun, ia mencoba menetralkan suasana agar tidak terlalu panik dan kemudian ribut. Ia menyelusuri seluruh ruangan. Siapa tau Ilya sudah berada di rumah, tetapi kenyataan menyebutkan bahwa Ilya tak ada di mana pun, bahkan di sudut-sudut rumah sekali pun.

****

Jam pun menunjukan pukul 18.00, masih tak ada tanda-tanda dari Ilya. Semua orang tampak panik, karena sedari tadi Ilya tak kunjung pulang. Ada beberapa orang yang mencari keluar. Sementara keluarga menungu kabar dari rumah.

Bayu yang tak bisa tenang terus berjalan berputar-putar, keringat dingin mulai bercucuran. Kini yang ia khawatirkan bukan kesehatannya lagi, tetapi keadaan Ilya-lah yang paling utama.

"Ini semua salah Bunda, Bunda yang nyuruh Ilya buat beli bahan masakan ke warung. Harusnya yang beli tadi Bunda, bukan Lya." Isakan Nuri semakin menjadi-jadi. Hatinya benar-benar kacau saat mengetahui bahwa Ilya belum pulang sejak tadi.

Bayu yang mendengar isakan Nuri mencoba menenangkannya, "Bunda jangan salahin diri Bunda sendiri, di sini Bayu juga yang salah. Bunda tenang ya, Bayu yakin Lya nggak kenapa-napa. Kita harus terus berdoa semoga Lya cepat ditemukan."

Bayu bisa saja berkata tenang, berkata Ilya akan baik-baik saja. Namun, dalam hatinya dialah yang paling merutuki dirinya sendiri, menyalahkan dirinya sendiri. Kehilangan Ilya adalah kesalahannya, karena telah mengizinkan Ilya keluar dari kamar.

Suara beberapa orang yang berlarian di halaman membuat semua orang yang berada di dalam berbondong-bondong berlarian keluar. Mereka semua tampak khawatir menunggu kabar dari Ilya.

"Gimana? Ketemu?" tanya Bayu khawatir.

Mereka semua menggeleng, membuat Bayu frustrasi. Ia menarik rambutnya kuat-kuat, tak percaya bahwa Ilya benar-benar tidak bisa ditemukan. Perasaannya benar-benar kacau ada rasa takut, khawatir, panik tapi tak tau harus melakukan apa.

Nuri yang mendapat kabar bahwa Ilya belum ditemukan, mendadak kehilangan kesadaran. Ia sudah tak kuat lagi mendengar semua cerita dari orang-orang itu. Semua orang yang berada di dekatnya segera membawa Nuri ke dalam kamar untuk Istirahat.

Bayu segera mengambil kunci mobilnya dari meja, dan bergegas mencari Ilya. Pikirannya benar-benar tak bisa terkontrol. Mengapa ia harus merasakan bahagia sesaat, tetapi terluka kemudian?

"Bayu mau kemana?"

"Bayu!" teriak Adra yang melihat putranya pergi tanpa pamit.

Bayu tak menghiraukan panggilan Uminya dan tetap menyalakan mesin. Ia keluar dari rumah dalam keadaan terpuruk. Ia terus melajukan mobilnya tapi tak tau harus kemana, ia terus mengendarai mobilnya tanpa arah.

****

Ilya membuka matanya, remang-remang, cahayanya tak cukup memadai untuk Ilya melihat ke seluruh ruangan. Pergelangan tangannya sakit, kakinya tak bisa digerakan, suaranya seakan tak bisa keluar. Mulutnya dibekap, tangan dan kakinya diikat pada sebuah kursi.

Ilya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, sepi tak ada seorang pun di sana. Udara dingin berhasil menusuk tubuh mungilnya. Pakaian yang ia pakai masih pakaian yang ia pakai pagi tadi. ia masih mengenakan gaun milik Bundanya.

Ilya mencoba berteriak. Namun, suaranya tetap tak bisa keluar. Ilya tak tahan lagi, air matanya sudah tak bisa ia bendung. Kain yang membekap mulutnya menjadi basah. Ia takut, sangat takut. dalam keadaan seperti ini hanya keajaiban saja yang bisa menolongnya.

Seseorang bertubuh jangkung dengan wajah yang ditutupi masker dan juga kacamata hitam berjalan menghampiri Ilya. Keringat dingin bercucuran dari pelipis Ilya, ia sangat takut. Jantungnya berpacu dengan cepat. Napasnya seakan tersenggal-senggal.

Orang itu berdiri tepat di hadapan Ilya, Ilya menatap orang itu lekat. Pakaiannya yang serba Hitam membuat kesan suram. Perlahan-lahan orang itu mulai melepas kacamatanya dan masker yang ia kenakan. Ilya terbelalak melihat wajah itu, wajah yang benar-benar tak asing, sangat familiar.

Ilya menarik napas panjang, menelan ludahnya kasar. ia masih tak menyangka bahwa ini semua adalah perbuatannya. Ilya mencoba mengeluarkan suaranya, hanya deheman-deheman yang terdengar oleh gendang telingannya.

"Ilyana Shumaila Nayyara," ucap laki-laki itu dengan senyum sinis layaknya tokoh-tokoh antagonis dalam sebuah sinetron.

Laki-laki itu membuka ikatan kain yang sedari tadi menutup mulut Ilya. Air matanya mendadak terhenti, kata-katanya seperti tertahan di tenggorokan.

"Mau apa lo? Lepasin gue sekarang, atau engga gue bakal teriak," ancam Ilya.

Laki-laki itu hanya memperlihatkan senyum sinis, "Percuma lo teriak! nggak ada yang bisa denger."

"Mau apa lo!" teriak Ilya.

Lagi-lagi laki-laki itu hanya tersenyum sinis seraya mengeluarkan suara kekehan. Jujur Ilya merasa dirinya benar-benar dalam situasi tersulit. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak bisa di ajak berkompromi, ia lapar kedinginan. Ini semua karena perbuatan orang yang kini berada di hadapannya.

....

Sudahkan anda membaca Al-Qur'an hari ini?

Hijrah Bersama ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang