Bab 11: Ketenangan

1K 52 0
                                    

Good night, my husband.”

....

Bayu memasuki kamar hotel disusul Ilya di belakangnya. Hati Ilya masih berkecamuk takut, kecewa pada dirinya sendiri. Ilya merasa benar-benar tak pantas untuk bersanding dengan Bayu. Janji untuknya kembali ke kamar, kini hanya sebuah omong kosong. Seharusnya ia pergi menemui Bayu terlebih dahulu. Sebelum pergi membeli bahan masakan ke warung.

Ilya bergegas menuju ke kamar mandi. Ia ingin meluapkan semua ketakutannya, kekesalannya, kesedihannya. Ia benar-benar tak bisa menunjukan kesedihannya pada siapa pun. Lebih baik memendamnya sampai benar-benar merasa lega, dari pada harus berbagi masalah pada orang lain.

Ia meluapkan segala bentuk emosinya. Ia terus menyiram wajahnya dengan air. Itulah yang Ilya lakukan untuk melepas semua kepenatan.

Bayu yang menunggu Ilya di luar merasa sedih. Ia tau sifat Ilya jika sedang frustrasi seperti ini. Ilya tidak akan mau berbagi masalah, atau sekedar menceritakan masalahnya. Itulah yang paling dibenci Bayu sejak kecil, Ilya terus memendam semuanya sendiri.

Bayu hanya ingin Ilya lebih terbuka padanya, tentang apa pun itu masalahnya. Karena mulai sekarang dan selamanya Bayu-lah yang akan menjadi teman hidupnya.

Bayu memutuskan untuk merebahkan dirinya di atas kasur, meratapi semua kesalahan yang telah ia lakukan. Tak lama kemudian, Ilya keluar dari kamar mandi dan ikut berbaring di samping Bayu. Hening tak ada suara apa pun dari keduanya.

“Maaf,” ucap Ilya memecah suasana.

Ilya tau Bayu belum tidur, Ilya tau pasti Bayu sangat marah padanya. Ia mencoba meminta maaf untuk kedua kalinya. Agar masalah ini tak bertambah rumit dan akhirnya malah membuat semuanya menjadi kacau. Pagi tadi Ilya merasa bahwa hari ini adalah hari bahagianya, tetapi sesaat kemudian berubah menjadi hari terburuknya.

Ilya membalikkan badannya menghadap punggung Bayu, sejujurnya Bayu sangat senang mendengar Ilya yang masih mau berbicara kepadanya. Ia pun ikut membalikkan badan. Tatapan mata mereka mengunci, mereka bertatapan dalam keheningan. Bayu mengangkat kedua sudut bibirnya, mengembangkan senyum manisnya.

“Lya, boleh nggak Mas minta satu hal?” pinta Bayu.

“Apa?”

“Lya tolong, kalau ada masalah, tolong Lya cerita. Mas mau hubungan kita ini terbuka, Mas mau diantara kita nggak ada lagi rahasia, Mas akan selalu jadi pendengar setia buat Lya, Lya ngertikan maksud Mas?” Bayu mengeluarkan semua permintaannya, dia hanya ingin Ilya lebih terbuka dan mau bercerita.

Ilya terhenyak sesaat dan mengangguk. Ia pun mengembangkan senyum, Ilya bahagia telah memiliki Bayu, kesabaran Bayu dalam menghadapi Ilya sungguh luar biasa. Ilya pun menceritakan semua kejadian barusan pada Bayu. Bayu hanya mendengarkan Ilya dengan seksama. Walaupun dadanya sesak akibat mendengar cerita Ilya, tetapi ia tetap mendengarkannya dengan teliti.

“Mas kok bisa tau Lya ada di situ, itu tempatnya terpencil banget loh?” tanya Ilya penasaran.

Hmmm, mungkin karena ikatan batin yang bawa Mas ke Lya,” jawab Bayu asal.

“Ih emang ada, ikatan batin itu cuma ada diantara ibu dan anak, kalau Mas yang ngerasain Lya nggak percaya.” Ilya mencubit pelan pinggang Bayu, ia merasa tidak puas dengan jawaban Bayu yang terkenal asal-asalan.

Bayu hanya terkekeh ketika melihat wajah Ilya yang berubah menjadi merah. Senyumnya kembali seperti semula, bukan lagi senyum yang dipaksakan melainkan senyum tulus.

“Lya,” panggil Bayu.

Bayu mengelus kepala Ilya lembut. Rambut panjang Ilya dibiarkan tergerai begitu saja. Bayu mendaratkan kecupan di kening Ilya. Ilya sedikit tersentak. Namun, kecupan itu membuatnya merasa aman. Ilya memejamkan matanya. Lelah, Ilya benar-benar lelah menghadapi kejadian beberapa saat lalu.

Ilya memeluk Bayu, Bayu pun membalas pelukan Ilya dengan hangat. Suhu badannya mendadak normal setelah mendapat pelukan dari orang yang ia sayang.

Good night, my husband,” ucap Ilya sebelum benar-benar terlelap.

Good night too, honey.”

****

Pagi-pagi sekali Ilya dan Bayu harus bergegas pergi meninggalkan hotel. Di karenakan keluarga yang sudah menunggunya. Sesampainya di rumah, Ilya langsung disuguhkan dengan berbagai macam kepanikan.

Ilya hanya terdiam dan tersenyum sebagqi pertanda bahwa dia baik-baik saja. Kejadian tadi malam sebaiknya ia sembunyikan agar tak membuat keluarganya bertambah panik.

“Lya, kamu nggak papa, kan?” tanya Nuri spontan.

“Lya nggak papa Bunda, kan ada Bayu yang nemenin Lya. Lya ke kamar dulu ya Bunda.”

Nuri hanya mengangguk, membiarkan puterinya untuk beristirahat. Ilya bergegas memasuki kamar ia tak mau diwawancarai macam-macam tentang apa yang baru saja terjadi. Dari langkah kakinya, terdengar bahwa Bayu mengikutinya, Ilya membiarkan Bayu memasuki kamar. Ia membuka lemari pakaiannya dan berniat mengganti pakaian yang sejak kemarin belum ia ganti.

“Lya, kamu belum makan dari kemarin. Mau Mas ambilin makan?” tawar Bayu.

“Boleh, Lya ganti baju dulu ya.”

Bayu hanya mengangguk dan pergi mengambilkan makan untuk Ilya. Setelah mengambil sepiring makanan, ia bergegas menghampiri Ilya. Ia melihat Ilya hanya diam dengan pakaian yang sudah ia ganti, Ilya termenung seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Lya,” panggil Bayu, suaranya berhasil membuyarkan lamunan Ilya.

“Iya Mas, kenapa?”

“Lya kenapa melamun? Mikirin apa?”

“Nggak papa Mas, Lya cuma kepikiran kejadian kemarin aja.”

“Mas suapin ya,” tawar Bayu.

Ilya hanya mengangguk, tubuhnya benar-benar lemah, tak bertenaga. Namun, karena ada Bayu di sampingnya yang menjadi sumber dari semua tenaganya, Ilya terus berusaha kuat demi orang yang ia cinta. Bayu adalah penyemangat hidupnya dari berbagai macam keterpurukan yang ia terima.

****

Hari demi hari berlalu, kondisi Ilya membaik walaupun masih sering melamun sendirian. Bayu selalu menemani Ilya, dengan sesekali membuatnya tersenyum. Namun, rasanya Ilya belum bisa menghilangkan trauma itu dari pikirannya. Sekuat apa pun ia berusaha untuk menyadarkan Ilya, ingatan itu tidak akan bisa dihapus selamanya.

“Lya,” panggil Bayu.

“Iya,” balas Ilya singkat.

“Gimana kalau kita pindah rumah?”

Mata Ilya terbelalak, tak mengerti maksud dari Bayu. “Pindah rumah?”

“Iya, masa kita terus tinggal di rumah orang tua Lya, kan nggak enak sama Bunda sama Abi.”

Ilya sedikit berpikir tentang pendapat Bayu tentang pindah rumah. Perkataan Bayu ada benarnya juga, suatu hari nanti rumah ini akan di tempati oleh kak Sheva dan suaminya. Jadi tak mungkin jika ia harus tinggal di tempat ini lagi.

“Lya setuju sama, Mas.”

“Tapi kita harus bicarain ini dulu ke Bunda dan Abi,” kata Bayu.

Ilya hanya mengangguk mengiyakan saja keputusan Bayu. Toh kalau sudah berumah tangga mereka harus bisa mandiri dan tidak bergantung pada keluarga. Mereka harus bisa hidup dengan usaha sendiri dan hidup membentuk keluarga baru.

“Ya, pindahnya jangan jauh-jauh, kita cari tempat tinggal yang di dekat sini aja.”

Lagi-lagi Ilya hanya mengangguk mengiyakan saja. Di mana pun ia tinggal jika tetap bersama Bayu itu tak masalah.

....

Sudahkah anda berbuat baik hari ini?

Hijrah Bersama ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang