"Maksud Mas, apa?"
....
Ilya menunggu Bayu seraya melihat orang-orang sekitar yang berlalu lalang. Waktu sudah menunjukan pukul 15:30, tetapi Bayu belum juga datang. Ilya sudah tak tahan lagi, dan bergegas meninggalkan tempat ternyamannya.
Tanpa disangka seseorang dengan kostum beruang berdiri tepat di depannya. Ia terus menghalang-halangi Ilya yang sedang berjalan. Kesabaran Ilya habis, amarahnya seakan memuncak.
"Bisa tolong minggir nggak!" bentak Ilya.
"Enggak bisa, Mbanya cantik si."
Ilya tau itu suara seorang laki-laki, tapi entah, dia tak mengenali suara itu. Yang pasti hatinya sekarang sedang kacau, karena Bayu tak kunjung datang. Sepertinya benar apa yang ada di pikirannya, Bayu benar-benar sudah tak peduli dengannya.
"Mas, mau minggir atau saya teriak."
"Teriak aja kalau berani." Tantang orang dibalik kostum boneka beruang itu
Emosinya semakin memuncak, Ilya mengambil ancang-ancang untuk segera berteriak. Namun, ia teringat akan pesan dari Sheva. Kalau perempuan tidak boleh berteriak dan suara yang dikeluarkan harus lembut. Ia mengusap dadanya beberapa kali, hingga perasaannya sedikit tenang.
"Masnya mau apa?" ucap Ilya ramah.
"Maunya, Lya maafin Mas," pinta Bayu yang kemudian bercongkok di hadapan Ilya, ia melepas kepala beruang itu dari kepalanya. seraya menyerahkan sebuket bunga mawar nan indah.
Ilya menutup mulutnya tak percaya bahwa orang yang di hadapannya adalah seorang Bayu. Hatinya tersentuh saat Bayu memberikannya kejutan di luar dugaan. Namun, ia tetap tak lupa dengan tujuan awalnya. Ia tersenyum dan menerima bunga dari Bayu. Walaupun hatinya masih belum siap kembali seperti dulu.
Bayu bangkit dan tersenyum manis di hadapan Ilya. "Lya, kamu cantik kalau pakai hijab kayak gini."
"Seorang muslimah memang diwajibkan memakai hijab, jadi apa salah kalau Lya pakai hijab?"
"Memakai hijab bukanlah sebuah kesalahan, tapi sebuah keindahan yang membuat siapa saja yang melihatnya merasa nyaman. Mas seneng banget akhirnya bisa ketemu sama Lya lagi," ucap Bayu dengan senyum mengembang.
"Maaf tapi di sini Lya ketemu sama Mas mau ngasiin ini." Ilya memberikan sebuah amplop coklat kepada Bayu.
Bayu mengerutkan kening, tak mengerti maksud Ilya yang tiba-tiba memberikan sebuah amplop coklat. Bayu terus menggeleng-gelengkan kepalanya tak mengerti maksud dan tujuan dari Ilya.
"Ini surat cerai kita," ucap Ilya tanpa basa-basi.
"Lya, jaga omongan kamu, hubungan kita baru satu bulan dan kamu minta cerai."
"Mas, Lya capek. Kita ngelewatin ini cuma satu bulan, tapi apa? Mas itu terlalu tinggi buat Lya. Lya udah nggak kuat nerima semua ejekkan mereka tentang Lya yang ngerusak hubungan oranglah, pake pelet-lah. Lya udah nggak tahan." Tanpa sadar air mata Ilya mengalir begitu saja, ia tak kuasa menahan semua kata-katanya sendiri.
Embusan angin seakan mendinginkan suasana, yang mencekam. Mereka berdua diam tak berkutik. Seakan kata-kata Ilya barusan membuat mereka bungkam. Hati Ilya sudah benar-benar siap untuk menerima apa pun resikonya nanti.
"Lya, dengerin Mas. Lya nggak usah peduliin semua kata mereka, yang harus Ilya lakuin cuma hadapi dengan kesabaran."
"Mas, nggak pernah tau apa yang Lya rasain. Mas nggak tau, kan rasanya diomongin di belakang. Apalagi sampai disebut cewek murahan."
Bayu bungkam, tak bisa menjawab apa-apa lagi. Ia tau semuanya, bagaimana rasanya Ilya yang suka diejek seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, Bayu sudah tak bisa memaksakan dirinya lagi untuk bisa bersama Ilya. Atau Ilya akan terus diejek, bahkan sampai dibully.
"Oke, kalau itu udah jadi keputusan Lya. Mas udah nggak bisa apa-apa lagi." Bayu mengambil amplop coklat itu dari tangan Ilya.
Ia membuka isinya, dan benar saja isinya adalah persetujuan surat cerai yang harus ditanda tangani. Ilya memberikan sebuah pulpen untuk Bayu menandatanganinya. Hati Bayu masih enggan untuk berpisah dengan Ilya, tapi mau bagaimana lagi ini semua sudah menjadi takdir mereka berdua.
"Lya, boleh nggak Mas peluk kamu untuk terakhir kalinya," pinta Bayu.
Ilya tercengang mendengar permintaan Bayu. Ia pun mengangguk, lagi pula mungkin ini akan menjadi pelukan ternyamannya sekaligus terakhirnya. Ilya tersenyum seraya membenahi jilbabnya.
Bayu yang sudah mendapatkan persetujuan dari Ilya. Langsung memeluk Ilya erat, tanpa ampun. Pelukan yang selalu ia dambakan selama berpisah dari Ilya. Selama beberapa detik pelukan itu masih merekat erat. Hingga akhirnya Bayu melepaskan pelukan itu dan mengecup kening Ilya hangat.
Ilya tersentak, tetapi ia tetap membiarkan Bayu melakukannya. Semua sudah berjalan sesuai yang ia inginkan, dan ini adalah salam perpisahan yang tak pernah ia lupakan sampai kapan pun. Tak ada kata perpisahan yang dianggap baik-baik saja, karena semua perpisahan itu menyakitkan.
Setelah puas memberi salam perpisahan pada Ilya, Bayu membuka tutup pulpen dan siap menandatangani surat cerainya. Dadanya sesak saat ukiran tanda tangannya sudah terlihat jelas di secarik kertas itu. Tangannya bergetar hebat, hatinya hancur.
Ilya hanya diam tak berkutik, tak percaya bahwa Bayu benar-benar menandatangani surat cerai itu. Ia hanya tersenyum paksa, tak ada kebahagian sedikitpun dari raut wajah keduanya.
"Lya, maafin Mas ya kalau selama ini. Mas nggak bisa jagain Lya," ucap Bayu lirih.
"Lya juga minta maaf, karena nggak bisa bikin Mas bahagia."
Air mata Ilya mengalir begitu saja, membuat matanya sembab, hidungnya memerah, suaranya serak. Perpisahan yang membuatnya harus menahan segala kenangan yang pernah dibuat. Mungkin ini keputusan yang tepat, mungkin Allah sedang menyiapkan yang terbaik demi mereka berdua di masa yang akan mendatang.
"Lya," panggil Bayu.
Ilya mengangkat kepalanya memandang Bayu lekat, Bayu tak menunjukkan raut wajah kesedihan sama sekali. Sepertinya benar bahwa Bayu sudah tak menginginkannya lagi.
Namun, tanpa disangka surat cerai yang sudah ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Disobek begitu saja tanpa beban. Ilya mengerutkan kening tak percaya dengan yang dilakukan oleh Bayu.
Bayu menyobeknya hingga berukuran sangat kecil dan menghamburkannya. Embusan angin yang menerpa membuat kertas-kertas kecil itu berhamburan. Bayu tersenyum puas karena karena telah melakukan hal yang menurutnya benar.
Sementara Ilya hanya diam tak berkutik melihat kertas kecil-kecil itu berterbangan di atasnya. Ia masih tak mengerti dengan kelakuan Bayu, yang secara tiba-tiba menyobek kertas itu.
"Maksud Mas apa?"
Bayu tak merespon pertanyaan Ilya dan tetap menghamburkan kertas itu. Seakan-akan kertas itu hanyalah sebuah kertas tak berarti.
"Bayu Azka Raffasya," teriak Ilya.
Sekuat apa pun Ilya berteriak, ia tidak akan pernah memperdulikannya dan tetap asik dengan apa yang dia lakukan. Pasti setelah ini Ilya akan sangat marah padanya, tetapi inilah salah satu cara agar Ilya tetap bersamanya.
....
Sudahkah anda membaca buku hari ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersama Imamku
General FictionTamat (Part Masih Lengkap) Mungkin aku terlalu egois dalam memendam sebuah perasaan. Perasaan yang sebenarnya tak pantas aku miliki. Aku yang begitu suram bisa-bisanya menyukai cahaya terang. Kini apa yang bisa kulakukan, menggenggam angin dan memba...