Bab 5: Bayu

1.1K 53 0
                                    

“Ya udah itu keputusan aku, dan aku udah punya jawabannya."

****

“Oh, makasih ya. Tadi niatnya aku kesini mau ngambil kunci ini ke Suci, tapi udah dianterin sama kamu. Oh, iya nama kamu siapa?” tanya Annasya dengan senyum manis.

“Ilyana,” ucap Ilya singkat.

Ilya sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, hatinya sudah benar-benar hancur. Annasya dan Bayu benar-benar cocok. Sama-sama baik, sama-sama ramah, dan yang terakhir sama-sama alim. Sudah tak ada harapan lagi, hati Ilya harus segera pergi dan menetap di tempat lain.

“Aku duluan, ya,” ujar Ilya yang ingin cepat-cepat pergi dari hadapan mereka.

“Kok buru-buru, mau kemana?” ucap Bayu.

Suara itu berhasil membuat Ilya tersentak, hatinya sudah tidak kuat lagi jika berlama-lama di hadapan mereka.

Hm-hm-hm, mau-mau ngasih makan si Jerry, permisi. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Ilya berjalan dengan langkah lebar, hatinya sudah benar-benar terluka. Ia pergi meninggalkan mereka berdua, keluar dari tempat ini adalah salah satu cara, agar dia tidak bertemu dengan Bayu lagi.

****

Air mata Ilya sudah tak dapat ia bendung. Untung saja angkot sedang sepi penumpang.

Angkot melaju dengan kecepatan sedang, menelusuri jalan kota yang ramai. Sang sopir angkot pun tak tau bahwa penumpangnya yang satu ini sedang menangis.

Tak lama angkot pun berhenti pada salah satu rumah yang familiar di mata Ilya, rumah dengan halaman yang cukup luas. Tampak beberapa pasang sandal berjejer rapi. Suara-suara orang yang sedang asik mengobrol terdengar dari halaman rumah.

Ilya yakin, tak salah lagi itu adalah Abi dan Bundanya. Tapi bukannya Abi dan Bunda datang minggu depan, batin Ilya.

“Assalamualaikum,” ucap Ilya saat memasuki rumah.

“Wa’alaikumsalam,” ucap mereka serempak.

"Lya," panggil Nuri.

“Bunda, kok udah pulang? Bukannya kata Kak Sheva, pulangnya minggu depan?” tanya Ilya seraya mengecup punggung tangan kedua orang tuanya.

“Bunda sama Abi ada urusan, jadi harus pulang cepet.”

“Oh.”

Mata Ilya masih sedikit sembab. Namun, sudah tak ada lagi air mata yang menggenang. Setelah menyalami kedua orang tuanya, ia tak bersuara dan langsung  pergi begitu saja menuju kamarnya.

“Lya, sini dulu dong. Kan Bunda masih kangen sama kamu.”

“Maaf, Bun. Lya capek, mau istirahat,” ucap Ilya lirih.

“Kamu kapan si berubahnya, Lya. Kamu udah gede, kok masih kayak anak kecil. Terus juga sampai kapan kamu mau membuka auratmu seperti itu?” nasihat Nuri.

Ilya menghentikan langkahnya, air matanya sudah tak dapat ia bendung lagi. Tetes demi tetes mulai mengalir. Ilya pun sadar apa yang ia lakukan ini salah, sangat salah. Karena menutup aurat adalah kewajibannya bagi seorang muslimah.

Ilya mengusap air matanya dan berlalu pergi meninggalkan Bundanya yang masih berbicara. Ilya tak mau menjadi anak durhaka, lebih baik diam dari pada melawan. Dosa yang ia perbuat pada orang tuanya sudah terlalu banyak. Hingga malaikat Atid pun kehabisan kertas kosong untuk mencatat amal buruknya.

Hijrah Bersama ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang