Game stage

9.7K 527 18
                                    

Alya mengerutkan dahinya saat melihat apa yang ditampilkan pada layar cctv rumah sakit, ternyata benar dugaannya, ada yang berniat jahat kepada om Hendra. Entah siapa mereka, beberapa hari ini mereka terus mengunjungi om Hendra dengan memakai hoodie berwarna hitam.

"Liat apaan?" tanya Dafka yang tiba-tiba sudah duduk disebelahnya sambil mengintip kearah laptop tersebut.

"Ada yang lagi ngintai bokap lo." Dafka mengerutkan dahinya. "Maksud lo?" Alya menghelah nafas panjang, sepertinya akan susah untuk menjelaskannya ke Dafka karena Dafka itu orangnya emosian jika itu menyangkut urusan pribadi apalagi ini tentang om Hendra, dan biasanya orang yang emosian itu otaknya gak digunain, bawaannya pengen mukul terus.

"Maksud gue, ada yang lagi mata-matain bokap lo. Mereka beberapa kali masuk keruang om Hendra buat ngecek keadaan om Hendra."

Dafka membelalakkan matanya. "Terus bokap gimana? Baik-baik aja? Mereka ngelukai bokap? Sialan, cepat kasih tau gue orangnya yang mana." Alya mendengus mendengar respon yang diucapkan oleh Dafka. Benar bukan?

"Jawab dong Al, buruan." desak Dafka.

"Gue gak tau."

"Gak tau maksudnya?"

"Gue gak tau siapa pelakunya, tapi yang jelas harus ada yang ngawasin om Hendra mulai sekarang."

"Nyokap yang akan jagain disana." Alya menganguk mengerti. Ia mengalihkan pandangan keatah ponsel, saat ponsel tersebut berbunyi.

"Iya?"

"Al, boleh minta tolong gak?" ucap Rayn disebrang telfon sana.

"Selagi gak membuat gue keluar uang sih gak pa-pa."

"Jadi kalo gue minta lo mati sekarang lo mau? Mati kan gak keluar uang?"

"Siapa bilang? Lo butuh uang buat bayar orang ngegali liang kubur, lo butuh uang buat beli kain kafan, lo butuh uang buat ngundang tetangga baca doa." Rayn mendengus mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Alya, ia bahkan bingung bagaimana Alya bisa menjadi agen rahasia dengan sikap yang seperti ini.

"I don't care, you know? Yang gue butuhin, lo dateng kelokasi gue sekarang, karena ini penting."

"Lo dimana?"

"Apa gunanya jadi agen kalo gak bisa ngelacak gue?"

"Apa gunanya punya mulut kalo gak langsung ngomong sekarang?"

"Serah dah serah, gue ada diarena sekarang. Buruan kesini dalam 30 menit."

"Shit! Lo tau kan kalo arena dan rumah Dafka itu ujung keujung?"

"Gapeduli."

Tut.

Alya mendengus melihat sikap Rayn yang seenaknya terhadap dia.
"Siapa?" Alya mengalihkan pandangnnya.

"Rayn."

"Mau ngapain?"

"Gue disuruh ketempat dia sekarang." Dafka mengerutkan dahinya. "Terus lo mau?"

"Ya karna gue orangnya baik, gue mau aja. Yaudah yuk anterin gue kesana, tapi biar gue yang bawa mobilnya." Dafka mengangguk mengerti dan melempar kunci mobil tersebut kearah Alya.

"Lo berubah." kerutan samar terdapat didahinya Dafka saat mendengar ucapan Alya.

"Lo itu sebenernya suka gak sih sama gue ka?" Dafka membisu mendengar pertanyaan yang Alya lontarkan. Kenapa tiba-tiba nanya gitu?

"Gue tau kalo lo gak suka sama gue, lo cuma pura-pura jadi pacar gue, lo pura-pura perhatian sama gue." Alya menghelah nafasnya saat dirasa Dafka tidak berniat menjawab perkataannya.

Aldebaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang