Hell to the heart

372 28 5
                                    

Pemuda itu menaiki tangga dari batu granit yang sudah berlumut dengan kalap. Tatapannya memburu kedepan, siap menerkam siapa saja yang lewat didepannya tanpa ampun. Rambut hitamnya mengilat diterpa cahaya matahari yang masuk melalui celah kaca patri yang sudah diterpal hingga sedemikian rupa agar cahayanya tidak menembus masuk kedalam Manor besar yang warnanya kusam dan lusuh. Setidaknya cahaya tidak akan membuatnya kenapa-kenapa. Ia kuat.

Ia langsung melangkah melewati ruang utama yang sudah rusak dimakan waktu. Cat berwarna hijau emerald sudah luntur karena air hujan. Perabotan-perabotan tersebar disekelilingnya dengan kain putih yang menutupi. Entah sudah berapa lama perabotan-perabotan itu tidak pernah dibersihkan, bahkan tidak pernah bergeser sedikitpun. Lukisan-lukisan diidinding berdebu, perapian yang tidak pernah dinyalakan. Ia harus menyuruh jane mendekor ruangan ini kembali, setidaknya jika mereka memiliki tamu. Mereka bisa memberikan servis terbaik.

Peter melewati lorong untuk menuju ke aula besar. Namun baru mau belok kekiri, dari jauh ia mendengar sayup-sayup keramaian yang tidak tertahankan. Teriakan, gebrakan gelas ke meja, suara perabotan besi yang jatuh ke lantai menjadi sati. Urat lehernya menegang dan matanya menggelap, ia melangkah menuju kesana.

"DIMANA YANG LAINNYA!" suara lantang Peter penuh kekuatan, membuat seketika suara didalam ruangan itu meredup pelan-pelan. Sekitar duapuluh lima vampire ada didalam sana, semuanya berpakaian seperti manusia seperti dirinya sendiri. Mereka hanya akan menggunakan pakaian klasik seperti dimasa mereka hidup saat hari peringatan, untuk mengingat masa-masa terkenang mereka.

"tenanglah, Pete. Kau menggangu waktu makan kami." ucap seseorang dari salah satu kaum mereka yang sudah duduk di kursi meja makan dengan santainya membuat Peter makin terpancing.

Dicengkramnya wajah pemuda itu, yang berada di ujung meja. Dengan tangannya,  ia menariknya untuk bangun, membantingnya ke meja. Seketika suara riuh para vampire yang lapar langsung berangsur-angsur membisu. Pemimpin mereka jelas sedang tidak dalam suasana hati yang baik.

Apa kekasih manusianya mencampakannya? Tentu saja, pasti. Kaum mereka terlalu hina untuk bersama para manusia. Ketampanan, pesona, kekayaan, mungkin tidak terlalu banyak berpengaruh jika ia tetap saja monster haus darah yang bisa membunuh tanpa pandang bulu.
Apalagi menurut kabar burung, kekasih pemimpin mereka itu sangat cantik, tak heran jika banyak lelaki yang berbaris menunggu giliran menakhlukannya.

"KATAKAN PADAKU! SIAPA DARI KALIAN YANG MENCULIK IAN DEVEREAUX!" suara Peter menggelegar keseluruh ruangan yang hening. Ia mengeratkan cengkraman ke rahang pemuda vampire yang ketakutan dan ingin menarik kata-katanya jika ia bisa.

Perlahan manik abu kelam Peter bergerak menatapnya. "atau kau?"

Pemuda itu menggeleng cepat berkali-kali. Ia bisa merasakan rahangnya mulai retak seperti porselen. Tatapan matanya penuh teror, meksipun warnanya kemerahan dan seperti ada garis seperti bekas retakan-retakan sporselain di sekitar rahangnya karena apa yang dilakukan Peter.

Mata Peter memincing. Berusaha menemukan kebohongan yang terselip di matanya. Namun nihil. Ia langsung melempar pemuda itu ke dinding dengan sekali gerakan tangan dan vampire itu menubruk tembok hingga retak. Ia tidak sedikitpun menoleh dan menghiraukannya.

Peter menatap kedepan. Melihat dengan tajam satu persatu mereka yang menunduk dimeja makan. Rusa besar hasil buruan sudah ditata rapi diatas meja. Meskipun meja panjang sekitar lima meter ini ditata dengan sedemikian rupa seperti mau mengadakan makan malam, piring-piring disusun dari kecil hingga besar, serbet, hanya saja bunganya sudah layu bahkan rontok, tangkai-tangkai lilin yang ditarus sejajar lurus sudah kotor dan warnanya jadi kusam.

Ia sadar, ia sudah tidak pernah ikut dalam jamuan seperti ini. Ia selalu berburu sendiri, baginya makan seperti ini adalah hal yang kotor dan menjijikan. Ia memang monster tapi tidak harus sepenuhnya menjadi monster. Mungkin rasa ini adalah bawan saat ia masih manusia. Saat itu, dijaman itu, ia adalah anak bangsawan ternama di London. Ia punya tata krama dalam makan bahkan berbicara. Bagaimana menggunakan garpu dari kecil kebesar, bagaimana siku tidak boleh ada diatas meja, dan bagaimana meletakan alat makan setelah selesai makan sambil memberikan pesan.

The Angels Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang